Eksekusi Mati

Semua pihak yang menyatakan diri perang terhadap narkoba, pasti mendukung kebijakan pemerintah Jokowi mengeksekusi mati terpidana kasus narkoba itu. Narkoba sudah menggurita di negeri ini. Suatu penyakit yang harus ditangani dengan cepat dan cermat. Indonesia sudah menjadi salah satu Negara tempat perdagangan narkoba terbesar di dunia. Kasus narkoba ini merupakan ancaman serius bagi berlangsungnya kehidupan bangsa ini. Walaupun jaringannya di Indonesia sudah sangat besar, akan tetapi kita tetap optimis bahwa kita mampu memberantas jaringan tersebut. Bahkan berbagai lembaga penelitian menyatakan di Indonesia ada 30-50 orang meninggal setiap harinya disebabkan oleh narkoba. Bahkan celakanya lagi sebagian besar korban narkoba tersebut adalah para generasi muda.

Saya sangat mengapresiasi keberanian pemerintah Jokowi yang tetap melaksanakan eksekusi mati pada kasus narkoba beberapa waktu yang lalu. Terlepas adanya berbagai tekanan, eksekusi mati tahap dua tetap dilakukan. Tepatnya pada rabu dini hari 29 april 2015, para narapidana  kasus narkoba Bali Nine menerima timah panas dari regu tembak. Ada dua orang yang mendapat tangguhan, yang semestinya ikut dieksekusi mati pada tahap dua ini. Yaitu Mary Jane warga Negara Philipine dan satu warga Negara Prancis. Mary Jane mendapat penangguhan pada detik-detik akan dilaksanakannya eksekusi mati di pulau Nusakambangan itu. Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa hal itu hanya penangguhan, bukan pembatalan. Eksekusi mati akan tetap dilaksanakan bagi dua orang itu setelah proses perlawanan hukum diselesaikan.

Sikap tegas dan keberanian Jokowi melaksanakan hukuman mati bagi kasus narkoba ini pantas diapresiasi dan diacungi jempol. Tidak hanya itu, semua elemen penegak hukum pantas mendapat apresiasi yang tinggi. Mulai dari Jaksa Agung HM. Prasetyo, pemerintah Jokowi- Jusuf Kalla, Menlu Retno Marsudi, Menkumham Yasonna Laoly, Menhan Ryamizard Ryacudu, panglima TNI Jendral Moeldoko, sesepuh Guru Bangsa Buya Syafii Maarif, dan yang lainnya. Tekanan asing agar eksekusi mati itu dibatalkan sangat kuat, tapi pemerintah Indonesia tetap bergeming pada pendiriannya. Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa hal ini adalah kedaulatan hukum dan kedaulatan politik Indonesia yang tidak dapat diganggu-gugat. Pemerintah Indonesia juga menyatakan agar semua pihak menghormati hukum di Indonesia.

Tekanan kepada pemerintah Indonesia memang sangat kuat. Mulai dari lembaga internasional yaitu PBB sampai pada Negara-negara yang warga negaranya terkena eksekusi mati. Bentuk tekanan itu juga bervariasi mulai dari langkah diplomasi hingga ancaman pemutusan kerjasama. Bahkan ketika eksekusi mati tetap dilaksanakan, ada beberapa Negara yang lansung  manarik duta besarnya. Menanggapi hal itu, pemerintah memberikan tanggapan dingin. Pemerintah menyatakan penarikan duta besar adalah sesuatu yang wajar dalam hubungan diplomasi, dan itu merupakan hak mereka. Semua Negara akan berupaya dengan berbagai cara untuk menyelamatkan warga negaranya. Pemerintah Indonesia juga menyatakan bahwa kita tidak memusuhi pihak manapun, kita hanya memerangi narkoba. Pemerintah  menegaskan eksekusi mati ini telah sesuai dengan hukum di Indonesia. Prancis, Brazil, dan Australia merupakan tiga Negara yang paling keras menentang eksekusi mati ini.

Terlepas dari banyaknya tekanan dan lobi diplomasi kepada pemerintah Indonesia, saya lebih menyoroti sikap Australia. Pemerintah Australia berupaya keras menyelamatkan dua warganya dari eksekusi mati tahap dua ini, yaitu Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Tapi sayang, berbagai cara dan pendekatan itu gagal menyelamatkan dua warga negaranya itu. Andrew Chan dan Myuran Sukumaran pada akhirnya tetap merasakan panasnya peluru timah dari regu tembak. Setelah proses eksekusi mati itu, Australia langsung menarik duta besarnya di Jakarta. Jauh sebelumnya, Australia telah melakukan berbagai cara pendekatan diplomasi hingga ancaman. Mulai dari memohon grasi kepada presiden Jokowi, tapi tidak dikabulkan. Juga pernah mengungkit soal bantuan tsunami Aceh, tapi malah dapat kiriman ribuan koin dari rakyat Indonesia. Bahkan Australia juga mengancam akan membongkar rahasia pribadi Jokowi, menghentikan bantuan, memangkas beasiswa mahasiswa Indonesia, hingga ajakan boikot wisata ke Bali. Sikap Autralia ini mengundang geram sebagian besar rakyat Indonesia. Bahkan saya dapat menyatakan bahwa sikap berlebihan Australia ini semakin menunjukkan lemahnya kualitas diplomasi Australia di kawasan regional dan internasional.

Jakarta, 07 Mei 2015

Armawan Ar-Rhaflizh

Dipublikasi di my writing, Politik | Meninggalkan komentar

Senderella; Bersuaralah atau Menjeritlah

Saya sangat senang jika ada perempuan yang berani bersuara menyuarakan ketidakadilan terhadap dirinya. Berani bersuara dengan lantang, didukung juga dengan pandangan yang kuat. Saya mendambakan para perempuan yang ada di kampus-kampus, di kelas-kelas yang hanya diam itu berani menyuarakan hak-haknya.  Bersuaralah sekeras-kerasnya atas kebungkaman ini. Bersuaralah dengan penuh semangat atas ‘kediktatoran’ ini. Bersuaralah di forum-forum diskusi, di acara seminar, di kelas-kelas, di lembaga-lembaga keagamaan, di panggung politik, di pentas seni, di buku-buku, majalah, jurnal, koran, media, semuanya.

Bersuaralah!!!  Bersuaralah dengan jelas dan baik. Jika kalian memang belum mampu bersuara, maka menjeritlah dengan keras agar mereka bertanya ada apa dengan kalian. Menjeritlah seperti anak kecil yang kena cubit. Menjeritlah seperti anak kecil yang ingin dibelikan mainan. Atau seperti anak-anak yang ingin dibelikan boneka cantik. Atau juga bisa seperti waktu saya masih kecil yang ingin mobil-mobilan, saya menjerit lalu guling-guling di tengah pasar. Semakin di cubit , semakin keras juga saya menjerit. Hingga saya mendapatkan mobil-mobilan yang saya dambakan itu. Sungguh usaha saya itu luar biasa, bukan. Begitu juga dengan kalian wahai para perempuan. Saya mengharapkan kalian  berani bersuara dengan baik, layaknya seperti para perempuan terhormat. Atau menjeritlah dengan keras seperti anak kecil.

Jika kalian hanya diam membisu. Hanya diam tanpa suara. Atau bahkan tak mampu menjerit, maka apa yang harus saya perbuat untuk membantu kalian. Apa yang harus didengar oleh mereka di sana? Tentunya mereka akan sangat senang jika kalian hanya diam dan menerima dengan polos kediktatoran itu. Bahkan saking senangnya  mereka akan tertawa terbahak-bahak sembari memegang perut buncitnya. Apakah kalian para perempuan menerima semuanya? Bahwa kalian tidak boleh bernyanyi dan mengaji di depan publik karena  dianggap suara kalian aurat ? apakah kalian sangat senang menjadi “anak yang baik” dan hanya tinggal di dalam kamar hampa itu?.

Ohhh tidak. Sungguh secara pribadi saya mengharapkan kalian tidak seperti itu.  Iya memang peraturan itu sangat kuat. Suatu peraturan yang mendapat legitimasi agama. Suatu peraturan yang dibuat atas nama budaya mereka. Tapi bukan berarti hal itu tidak dapat di ganggu guggat, bukan?. Bukan berarti hal itu tidak dapat dibongkar, iya kan? Wahai para perempuan beranilah bersuara. Bersuara dengan keras hingga mereka dengar. Jika mereka tidak mau mendengarkan, maka tetaplah bersuara. Bahkan bersuaralah lebih keras hingga gendang telinga mereka pecah. Bersuaralah.

Jakarta, 15 Maret 2015

Armawan Ar-Rhaflizh

Dipublikasi di my writing | Meninggalkan komentar

Sains; Penentu Derajat Manusia

Membahas tentang ilmu pengetahuan memang selalu menarik. Suatu pembahasan yang tidak habis-habisnya, karena ia selalu memancarkan cahaya yang menerangi kehidupan manusia. Semakin di bahas dan dikaji, maka semakin terang pula cahaya itu. dengan cahaya itu, manusia menjadi tahu sesuatu di sekitarnya. Tahu jalan yang harus ia lalui. Dan tahu cara serta tujuan hidupnya. Tanpa adanya ilmu pengetahuan, maka yang ada hanya kegelapan-kegelapan yang menakutkan. Di tengah kegelapan manusia akan takut jatuh, takut celaka, takut salah jalan, dan takut mencoba. Akhirnya ia hanya akan diam tanpa berbuat apa-apa. Dengan ilmu pengetahuan yang menjadi cahayanya, manusia akan mendapatkan kemuliaan. Sebagaimana firman Tuhan:

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( QS. Al- Mujadilah: 11)

Dalam ayat ini Allah menyatakan akan memuliakan atau meninggikan derajat orang yang di beri ilmu pengetahuan. Lalu pertanyaannya adalah siapakah orang-orang di beri ilmu (utu al-‘ilm) tersebut? Dan ilmu seperti apa yang dimaksud ayat itu?. untuk menjawab dua pertanyaan itu, tentu terlebih dahulu kita harus tahu apa yang dimaksud dengan ilmu itu sendiri.

Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘ilm yang berarti pengetahuan , merupakan lawan dari kata jahl  yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan.[1] Kata ilmu juga biasanya disepadankan dengan bahasa Arab lainnya. Misalnya dengan kata ma’rifah (pengetahuan), fiqih (pemahaman),  dan hikmah (kebijaksanaan). Sedangkan yang paling sring disepadankan dengan ilmu ialah ma’rifah atau pengetahuan.

Ada dua jenis pengetahuan: pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan biasa diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan, seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pancaindra, dan intuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa memperhatikan objek, cara dan kegunaannya. Dalam bahasa inggris biasanya jenis pengetahuan ini disebut knowledge. Pengetahuan ilmiah juga merupakan keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu, tetapi dengan memperhatikan objek yang ditelaah, cara yang digunakan, dan manfaat pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah memperhatikan objek ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis  dari pengetahuan itu sendiri. Jenis pengetahuan ini dalam bahasa inggris di sebut science.[2] Ilmu yang dimaksud di sini adalah pengetahuan jenis ke dua. Jadi,  Orang yang akan diangkat derajatnya di sisi Allah sebagaimana di sebutkan pada ayat di atas adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan atau science (sains).[3]

Jakarta, 08 Februari 2015

Armawan Ar-Rhaflizh

[1]               Ensiklopedi Islam, jilid 2, (Jakarta: Van Hoeve Ichtiar Baru, 1997), cet. Ke-4, hal. 201

[2]               Ibid, hal. 201

[3]               Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), cet. Ke-5, hal. 156

Dipublikasi di Metodologi Study Islam, my writing | Meninggalkan komentar

Sains Dalam Dunia Islam

Sebenarnya saya tidak bermaksud melihat sejarah hanya untuk bernostalgia. Apalagi kalau hanya sebagai alat menghibur diri akan keperihatinan yang memilukan saat ini. Sejarah tidak hanya sebagai suatu peristiwa yang terkubur  pada lipatan waktu yang semakin lama, semakin dalam.  Tapi ia dapat kita jadikan sebagai referensi untuk bangkit dari keterpurukan.  Sebagaimana yang tercatat dalam buku sejarah bahwa dunia Islam pernah bersinar dengan cahaya yang sangat terang. Menyinari hingga semua pelosok jagat raya. Pada masa ini di sebut juga masa keemasan dunia Islam. Masa keemasan pada abad pertengahan. Para ulama dan ilmuwan muslim menjadi pelopor dan penggerak dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Tidak hanya dalam hal ilmu-ilmu keagamaan, tapi juga mencakup semua bidang ilmu pengetahuan seperti ilmu pasti, ilmu social, kedokteran, astronomi, ilmu hitung, dan filsafat.

Dalam bidang ilmu fiqih dan ushul fiqih ada ilmuwan muslim di antaranya Abu Hanifah al-Nu’ma bin Sabit yang dikenal dengan Imam Hanafi (669-767), Malik bin Anas yang lebih kita kenal dengan Imam Malik (712-798), Imam Syafi’I (767-820), dan Imam Hambali (780-855).[1]

Selanjutnya dalam perkembangan ilmu teologi ada tokoh seperti Abu Hasan al-Asy’ari (873-935), al-Jubba’I (w.303 H), Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w.944), dan Abu Yusr al-Bazdawi (421-493 H).[2] Dalam bidang hadis ada beberapa nama besar di antaranya Imam Bukhari (w.870), Imam Muslim (875), al-Turmudzi (w.892), dan al-Nasai (w.915). Dalam lapangan tasawuf kita kenal Hasan al-Basri (642-728), Rabi’ah al-Adawiyah (714-801), Abu Nasr Bisyr al-Hafi (767-841), Zunnun al-Misri (w.860), al-Ghazali (w. 1111), dan Hallaj.[3]

Banyak penemuan para ilmuwan muslim jauh sebelum ditemukan oleh para ilmuwan barat. Diantaranya; Al-Biruni adalah salah seorang ilmuwan muslim abad ke-11. Ia sudah mengetahui bahwa bumi berotasi pada sumbunya 600 tahun sebelum Galileo, dan menghitung lingkar bumi 700 tahun lebih dulu sebelum Newton[4]. Abu Ma’shar Al-balkhi merupakan seorang ilmuwan muslim dan sebagai saintis pertama yang menyanggah Arestoteles. Abu Ma’shar al-Balkhi menyanggah pendapat Arestoteles yang menyatakan bahwa dia telah mengamati komet-komet di sfera planet venus[5].

Abdul Latif al- Baghdadi (1162-1231) terkenal karena studinya dalam bidang anatomi. Ia mengoreksi kekeliruan yang dibuat di masa lalu dalam studi anatomis terhadap banyak tulang tubuh, seperti rahang dan tulang dada[6]. Abdul Rahman as-Sufi ialah imuwan muslim yang ahli dalam ilmu perbintangan dan penulis buku astronomi berilustrasi paling tua. Karya “masterpiece” nya yang paling terkenal adalah sebuah deskripsi perihal bintang-bintang yang posisinya sudah tertentu (fixed stars) yang ditulisnya pada tahun 355/965[7].

Ali Kushchu, seorang ilmuwan muslim pada abad ke-15 adalah orang pertama yang membuat peta bulan dan suatu daerah dibulan telah dinami dengan namanya. Tsabit ibn Qurrah, yang hidup pada abad ke-9, menemukan kalkulus diferensial berabad-abad sebelum Newton. Battani ilmuwan muslim pada abad ke-10 adalah pengembang pertama trigonometri. Al Khawarizmi menulis buku aljabar pertama pada abad ke-9. Al-Maghribi, menemukan persamaan yang saat ini dikenal sebagai segitiga pascal, sekitar 600 tahun sebelum Pascal.

Ibn al- Haitsam yang hidup pada abad ke-11 adalah penemu optik, dan Galileo menemukan teleskop merujuk pada karyannya.  Al-Kindi mengenalkan fisika relatif dan teori relativitas 1100 tahun sebelum Einstein. Syamsuddin yang hidup sebelum 400 tahun sebelum Pasteur, adalah orang pertama yang menemukan keberadaan kuman. Ali ibnul Abbas yang hidup pada abad ke-10 adalah orang pertama yang melakukan operasi bedah kanker. Pada abad yang sama, Ibnu Al-Jirr memperkenalkan metode perawatan lepra[8].

Itulah beberapa tokoh ilmuwan muslim serta perkembangan ilmu pengetahuan yang pernah dicapai oleh dunia Islam. Bahkan perkembangan ilmu pengetahuan itu masih dapat kita rasakan hingga sekarang ini. Walaupun pada perkembangan berikutnya memang harus kita akui bahwa ilmu pengetahuan dalam dunia Islam mengalami penurunan drastis. Terutama pada akhir abad tiga belas hingga abad delapan belas. Dunia islam tenggelam dalam kegelapan. Dan banyak hal yang menyebabkan itu semua, baik factor internal maupun eksternal. Hingga sekitar akhir abad delapan belas, tanda-tanda kebangkitan itu mulai terlihat. Dunia Islam pelan-pelan sadar akan ketertinggalannya dan terus berusaha maju hingga sekarang. Saya optimis dunia Islam mampu berperan aktif dan mencapai puncaknya ilmu pengetahuan seperti yang pernah ia raih pada masa lalu.

Jakarta, 09 Februari 2015

Armawan Ar-Rhaflizh

[1]Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), cet. 5 hal. 158

[2] Ibid, hal. 159

[3] Ibid, hal. 160

[4] Harun Yahya, Al-Qur’an dan Sains; memahami metodologi bimbingan Al-Qur’an bagi sains, (Bandung: dzikra, 2004), hal. 64

[5] M. Natsir Arsyad, cendikiawan muslim dari khalili sampai Habibie, (Jakarta: PT raja grafindo persada, 2000), hlm. 11

[6] Harun Yahya, Al-Qur’an dan Sains; memahami metodologi bimbingan Al-Qur’an bagi sains, (Bandung: dzikra, 2004), hlm. 63

[7]  M. Natsir Arsyad, cendikiawan muslim dari khalili sampai Habibie, (Jakarta: PT raja grafindo persada, 2000), hlm. 1

[8] Harun Yahya, Al-Qur’an dan Sains; memahami metodologi bimbingan Al-Qur’an bagi sains, (Bandung: dzikra, 2004), hlm. 66

Dipublikasi di Metodologi Study Islam, my writing | Meninggalkan komentar

Pertemuan di Balik Jendela Kaca

Pagi itu masih berembun, angin-angin berhembus kencang menusuk hingga tulang sumsum, sekaligus menggoyangkan dedaunan yang masih tertidur pulas. Sebuah sepeda motor astria menderu-deru membela jalanan. Seorang remaja lelaki yang berada di atas motor itu  mengenggam erat tangannya menahan dinginnya angin pagi hari. Motor itu akhirnya melaju pelan-pelan ketika sudah mendekati sebuah gerbang sekolah. Iya hari itu merupakan hari pertama seorang remaja laki-laki yang bernama Fariz Azzamy masuk sekolah menengah atas di sebuah kota yang asri dan bersejarah. Ia di antar kakak sepupunya pada hari pertama itu. ia masuk gerbang sekolah yang megah itu dengan santai. Berjalan di antara para pelajar yang sedang asyik mengobrol  dengan temannya masing-masing. Fariz Azzamy sendiri belum mendapatkan teman. Belum ada seorangpun yang ia kenal pada hari pertamanya itu. orang-orang di sekelilingnya masih terlihat asing baginya. Ia memperhatikan dengan seksama gedung-gedung megah sekolahnya. Menikmati taman-taman indah di sana. Hanya lapangan ditengah sekolah itu yang masih kurang menarik baginya. Suatu lapangan sisa-sisa pembangunan yang menerbangkan debu-debu merah  ketika diterpa angin siang hari.

Hari pertama dari satu minggu itu merupakan proses pengenalan tentang sekolah atau yang lebih dikenal dengan Masa Orientasi sekolah (MOS). MOS sendiri hanya dilaksanakan selama dua hari. Dan kegiatannya benar-benar dibuat sebagai proses pengenalan semua aspek tentang sekolah itu. tidak ada yang aneh-aneh, apa lagi Sesuatu yang berindikasi pada penyiksaan dan kekerasan. Anak-anak baru benar-benar dibimbing untuk mengenali sekolah dengan baik. Banyak juga permainan dan hiburan yang mengasyikkan. Dari proses  MOS itu juga Fariz Azzamy dengan yang lainnya saling berkenalan dan berteman satu sama lain. Di hari terakhir masa orientasi sekolah, di umumkan peserta terbaik. Di dalam aula sekolah yang besar itu, panitia mengumumkan peserta terbaik MOS tahun itu. setelah disebutkan namanya, majulah seorang perempuan cantik dan anggun. Suasana ruangan itu langsung riuh dengan tepuk tangan dan suit-suitan dari para lelaki. Semua laki-laki di dalam ruangan itu langsung terpukau melihat kecantikan perempuan itu. iya perempuan cantik itu adalah peserta terbaik MOS tahun itu. para peserta lelaki mulai saling berbisik antar satu dengan yang lain, menanyakan nama perempuan itu. sedangkan Fariz Azzamy hanya diam dan tersenyum. Dalam hatinya berkata, “aku akan melindungi perempuan itu dari para lelaki berengsek ini. Aku tidak akan membiarkan mereka menganggunya”.

Hari- hari telah berlalu, aktivitas pembelajaran pun sudah di mulai, tapi kecantikan perempuan sebagai peserta terbaik MOS itu masih menjadi topic hangat pembicaraan di lingkungan sekolah itu. paling tidak di kalangan para pelajar laki-laki. Fariz Azzamy juga terus berusaha  mencari cara untuk bisa kenal dengan perempuan itu. sebenarnya kelas mereka berdekatan, hanya ada satu kelas di antara kelas mereka. Walaupun begitu, tapi Fariz Azzamy masih terlalu polos, ia malu berkenalan. Apalagi dengan perempuan cantik, bisa-bisa ia langsung gemetaran dan tidak dapat berkata apa-apa lagi. Pada suatu hari, Fariz Azzamy melihat perempuan itu berjalan sendiri di depan kelasnya. Lalu ia buru-buru mendekati jendela kaca kelasnya untuk melihat perempuan itu. tiba-tiba perempuan itu  menoleh ke jendela kaca itu juga. Mata mereka bertemu, saling memandang, dan saling tersenyum. Detak jantung Fariz Azzamy berdegup kencang, dadanya kempang-kempis, ia merasakan getaran cinta. Iya itulah pertemuan pertama mereka. Suatu pertemuan di balik jendela kaca.

Pagi harinya di bawah rintik-rintik hujan, ketika di dekat kelasnya, perempuan itu menyapa Fariz Azzamy sembari tersenyum manis. Fariz Azzamy masih terlalu polos, ia hanya membalasnya dengan senyuman dan berkata hey. Ketika di masjid setelah shalat dzuhur, perempuan itu menyapanya lagi. Tapi lagi-lagi Fariz Azzamy terlalu polos dan hanya tersenyum. Ia tidak mampu lebih dari itu. getaran dalam dadanya terlalu kuat, sehingga ia tidak mampu berkata apa-apa, kecuali hanya tersenyum. Seiring berjalannya waktu, akhirnya terbentuklah persahabatan di antara mereka. Persahabatan dua insan anak manusia. Mereka memilki satu buku persahabatan yang berisi berbagai hal tentang mereka berdua. Hari-hari mereka lalui bersama dengan semangat persahabatan. Mengobrol dengan asyik, pergi ke perpus, les computer, dan pulang sekolah bersama. Malam hari terasa begitu lama bagi Fariz Azzamy. Bayangan wajah perempuan cantik sahabatnya itu selalu hadir di setiap sudut kelopak matanya.  Ingin rasanya segera pagi hari dan langsung pergi ke sekolah. Hari-hari begitu indah bagi Fariz Azzamy. Perempuan cantik sekaligus sahabatnya itu bernama “ D. Anggriani” lahir “ 31 Desember”. Ada suatu nama untuk mereka berdua. Nama yang mereka ciptakan sendiri, yaitu “ Dewan Rhaflizia”. Iya nama itu adalah nama mereka berdua.

Hari-hari mereka lewati dengan saling berbagi cerita, saling memahami dan mengerti satu sama lain, saling memberikan semangat belajar. Persahabatan itu, benar-benar membuat suasana yang sangat menyenangkan bagi Fariz Azzamy. Ia menikmati suasana sekolah. Menikmati proses belajar yang begitu indah mengalir apa adanya. Persahabatan yang memberikan perubahan positif baginya. Ia belajar dengen tekun dan selalu berusaha aktif di kelasnya. Iya persahabatan itu menumbuhkan semangat dalam diri mereka berdua. Terbukti pada akhir semester, mereka berdua sama-sama meraih juara di kelasnya masing-masing. Mereka berdua maju kedepan bersama. Melihat jaraknya agak jauh, D. Anggriani berkata pada Fariz Azzamy “  Fariz kesini lebih dekat”, mendengar hal itu Fariz Azzamy mendekat dan tersenyum. ahhh sungguh moment itu begitu indah.

Sebenarnya hubungan itu tidak hanya sebatas persahabatan, tapi lebih dari itu. Fariz Azzamy punya rasa suka, cinta, dan sayang pada D. Anggriani. Begitu juga sebaliknya. Itu terlihat dari tatapan mata mereka berdua. Mata tidak akan mampu berbohong akan perasaannya. Tapi Fariz Azzamy terlalu takut. Takut kehilangan sahabatnya. Takut kehilangan orang yang ia cintai. Takut kalau ungkapan cinta itu hanya akan merusak hubungan persahabatan mereka berdua. Akhirnya Fariz Azzamy lebih memilih menahan perasaannya. Lebih memilih untuk tidak mengatakannya. Hingga suatu hari, ada laki-laki yang mendekati D. Anngriani. Mendekati sahabatnya itu. mereka tampak cocok, dan akhirnya tumbuh hubungan spesial di antara mereka. Fariz Azzamy tidak mampu berbuat apa-apa kecuali hanya diam membisu, menahan gejolak dalam dadanya. Ia memilih menghindar dan menjauh. Dan itulah titik awal renggangnya persahabatn mereka. Walaupun pada suatu malam, Fariz Azzamy mengungkapkan perasaannya. Tapi  itu hanyalah usaha yang sia-sia. Semuanya sudah terlambat.

Hingga mendekati kelulusan, hubungan persahabatan mereka masih renggang. Pada suatu hari, mereka bersama-sama mengikuti tes beasiswa dari salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Fariz Azzamy masih memberikan minum kepada sahabatnya itu. baginya sahabat tetap sahabat. persahabatan tidak ada kata putus. Melihat Fariz Azzamy memberinya minum, D. Anggriani hanya mengucapakan terima kasih dan tersenyum manis. Sebenarnya mereka berdua sama-sama di terima dan mendapat beasiswa itu, tapi hanya Fariz Azzamy sendiri yang jadi mengambil tawaran beasiswa itu dan berangkat ke Jakarta. Sedangkan D. Anggriani sahabatnya, berangkat ke Kota Gudeg Jogja. Di sana ia kuliah di salah satu universitas terbaik Jogja dengan jurusan psikologi. Akhirnya dua sahabat itu dipisahkan oleh jarak antara Jakarta-Jogja.

Hari-hari ia lalui. Suasana ibukota begitu sibuk. Jalanan terlalu berisik oleh klakson yang memekakkan telinga. Hidup di ibukota terasa hampa bagi Fariz Azzamy. Awalnya ia berharap bisa melupakan sahabatnya. Melupakan pujaan hatinya itu.  menghilangkan rasa dalam dadanya yang menyiksa. Tapi pada kenyataannya, Fariz Azzamy tidak bisa, tidak mampu. Perasaan itu begitu kuat dalam hatinya. Bahkan yang ada tumbuh rasa rindu kepada sahabat sekaligus pujaan hatinya itu. rasa rindu yang semakin lama semakin membeku dalam dada. Hari-harinya penuh dengan rasa gelisah. Wajah sahabatnya itu memenuhi mimpi-mimpi tidurnya. Kenangan indah persahabatan selalu terbayang dalam benaknya. Pada malam itu, Fariz Azzamy sedang asyik membaca buku, tiba-tiba handphone genggamnya berdering-dering tanda ada panggilan masuk. Ternyata nomor baru, lalu ia angkat sembari mengucapkan salam. Suara di sana pun menjawab salam dengan lembut. Detak jantung Fariz Azzamy langsung berdegup kencang, tangan gemetar,  ia terdiam sejenak menahan nafasnya. Suara itu tidak asing baginya. Suara khas yang ia rindukan selama ini. Suara yang memberikan semangat hidup ketika ia masih di bangku sekolah. Suara yang sudah lama menghilang. Suara yang bersembunyi di balik kisah-kisah kehidupan. iya suara itu adalah suara perempuan cantik yang jauh disana. Suara sahabat lama sekaligus pujaan hatinya. mereka saling bertanya tentang kabar sahabatnya.

Semejak malam itu, dua sahabat itu kembali sering saling telpon. Mengobrol ngawur ngidul, bercerita tentang kuliah masing-masing, mengenang kisah persahabatan mereka, bahkan sampai saling berbagi tentang rencana hidup mereka ke depan. Mereka telponan hingga berjam-jam dengan asyik, tertawa, dan saling bercanda mesra. Pada suatu malam dengan sikap dewasa, Fariz Azzamy berkata pada D. Anggriani sahabatnya itu “ sahabatku, dengan penuh kejujuran dan kesederhanaan, sebenarnya aku dari dulu hingga kini punya rasa padamu. Perasaan sayang dan cinta. Perasaan yang  lebih dari sekadar sahabat. tapi harus ku akui juga bahwa aku belum bisa menetapkan engkau yang terbaik untukku, karena aku belum tahu siapa yang terbaik untukku. Hanya Tuhan yang tahu orang yang terbaik untuk kita”.

Mendengar  itu D. Anggriani hanya diam. Suasana hening sebentar, kemudian ia berkata dengan lembut “ Fariz sahabatku, terima kasih atas kejujurannya. Sebenarnya dulu aku juga punya perasaan sayang dan cinta padamu. Perasaan lebih dari sekedar sahabat. aku tahu, waktu itu kita mempunyai perasaan yang sama. Aku tahu dari tatapan matamu. Berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan aku menunggu agar engkau mengungkapkannya padaku. Tapi engkau terlalu lama menyampaikannya. Hingga aku lelah menunggu. Hingga aku jenuh menunggumu. Perempuan terlalu malu mengungkapkan perasaannya. Dan aku juga tidak mampu melakukannya. Sebagai perempuan, aku waktu itu hanya bisa menunggu dan menunggu hingga aku lelah dan jenuh. Hingga semuanya tidak memungkinkan lagi untuk kita bersama. Aku masih sangat ingat pertama kali kita bertemu di depan kelasmu. Kita bertemu di balik jendela kaca. Tatapan matamu waktu itu menggetarkan hatiku. Sahabatku, untuk sekarang aku  membuka hatiku untuk siapa saja, termasuk dirimu. Jika engkau terbaik untukku, dan aku yang terbaik untukmu, suatu saat nanti kita pasti akan di pertemukan hingga membentuk suatu keluarga. Dan untuk saat ini sebaiknya kita fokus dulu dengan kuliah kita masing-masing”.

Mendengar jawaban sahabatnya itu, Fariz Azzamy hanya terdiam juga. Lagi-lagi suasana menjadi hening. Hanya hembusan angin malam yang terus menggoyangkan dedaun di sampingnya. Setelah beberapa saat, kemudian Fariz Azzamy memecah keheningan dengan bercerita mengenang kisah perjalanan persahabatan mereka. Saat ini D. Anggriani sahabatnya itu sudah tidak di Jogja lagi. Ia telah kembali ke Kotanya yaitu Kota Bumi Raflessia dan telah  mempunyai kehidupannya sendiri. Sedangkan Fariz Azzamy masih menempuh pendidikan master di salah satu universitas terbaik di Indonesia. Sahabat tetaplah sahabat walau bagaimana pun keadaannya. Teruslah saling berbagi Dewan Rhaflizia. Pertemuan di balik jendela kaca.

Jakarta, 05 Februari 2015

Armawan Ar-Rhaflizh

Dipublikasi di my writing | Meninggalkan komentar

Semangat Pagi Hari Sang Putra Kehidupan

Mentari pagi sudah menampakkan cahayanya. Berbagai kendaraan mengeluarkan suaranya sembari klakson berteriak-teriak memekakkan telinga. Burung-burung mulai bernyayi sesukanya. Pohon-pohonpun ikut bergoyang diterpa angin. Manusia-manusia egois mulai sibuk dengan urusannya masing-masing. Fariz Azzamy juga tidak mau ketinggalan, ia bersiap memulai aktivitasnya di pagi hari. Iya Fariz Azzamy adalah Sang Putra Kehidupan.  Ia melihat sebentar kearah jam dinding yang sedang asyik memutar jarumnya secara teratur. Tapi sayang jam dinding itu terlalu cuek dan tidak peduli dengan lingkungannya. Dan memang akan terus seperti itu. lalu Fariz Azzamy makin bergegas menyiapakan semua kebutuhan untuk aktivitas harinya. Berbagai hal ia masukkan kedalam tas hitamnya. Mulai dari buku-buku perkuliahan, leptop, al-Qur’an, pena, dan tidak lupa buku dairynya. Tas hitamnya sudah terlalu tua, mungkin juga bisa di bilang sudah jompo. Sehingga tidak mampu memuat hal-hal lebih dari itu. iya tas yang mungkin sudah layak di museumkan atau hanya di pajang di dalam kamar sebagai tas kenangan yang telah menemaninnya selama beberapa tahun terakhir ini. Mungkin juga dapat dibilang sebagai tas legenda….hahhaa. tapi memang gelar itu pantas di sandangkan kepada tas hitam itu. tas yang sudah beberapa kali mengalami jahit  dan tetap berbakti hingga kini kepada pemiliknya.

Setelah menyemprotkan parfum ke bagian badannya, Fariz Azzamy bergegas menuruni anak tangga yang berjejer dengan rapi. Lalu dengan tangan kanannya, ia meraih sepatu yang bertengger di antara sepatu-sepatu yang kurang terawat. Sepatunya sendiri sudah cukup lama dan cukup tangguh bertahan. Sepatu yang telah dengan setia menemani  hari-hari yang telah ia lalui. Sepatu yang menjadi saksi bisu atas langkah kakinya. Dan sama dengan tas hitamnya, sepatu itu juga sudah layak dimuseumkan….hahahah. oh tidak, biarkan sepatu itu bertahan sebentar lagi menemani hari-hari yang cerah sebagai bentuk bakti kepada pemiliknya. Fariz Azzamy sendiri memang masih senang memakai sepatu itu. bahkan masih sayang kalau dibuang. Walaupun alasan sebenarnya karena belum ada sepatu penggantinya. Tidak terlalu lama dengan sepatunya, Fariz Azzamy menuju sepeda yang akan menjadi kendaraannya ke kampus. Sepeda yang memberi semangat di awal aktivitasnya sebagai seorang mahasiswa. Ia mengayuh sepeda dengan santai, menyelinap diantara berbagai kendaraan yang selalu berteriak-teriak menginginkan dirinya yang paling cepat. Fariz Azzamy mengeluarkan tenaga ekstranya ketika mendaki tanjakan yang cukup tinggi. Urat-uratnya keluar, otot-otot mengencang, dadanya kempang-kempis, nafasnya, dan peluh bercucuran. Tapi ia tetap tersenyum menikmati semuanya. Tidak mengeluh sedikitpun. Angin-angin ikut bertiup kencang menyambut semangat pagi harinya. Ahhh begitu nikmat,bukan. Belaian angin sungguh menyenangkan.

Tidak terasa ternyata tiba di kampusnya. Kampus yang berada di pinggiran ibukota. Kampus yang sedang mencoba mengembangkan sayapnya. Fariz Azzamy menaiki tangga-tangga kecil itu, laksana seorang pesilat tangguh mendaki tangga-tangga ilmu persilatan. Suara riuh mulai terdengar di telingahnya. Suara para mahasiswa ‘penuntut’ ilmu dan haknya. Tapi lebih sering diam membisu menerima apa adanya  terhadap hampir semua kebijakan badut-badut gendut. Ahh mereka terlalu payah, terlalu takut bersuara akan hal itu. mereka hanya akan bersuara kalau menyangkut perutnya. Itu juga hanya samar-samar, antara meminta dengan merengek. Sungguh seperti bocah-bocah yang belum siap hidup. Fariz Azzamy sungguh sadar akan semuanya. Ia tidak bisa menyalahkan pihak manapun. Yang dapat disalahkan hanyalah kebohongan. Tidak adanya keterbukaan badut-badut gendut itu dan kedektatorannya akan semua kebijakan. Kebijakan yang sering melanggar hukum-hukum yang mereka buat. Persis seperti syair Kahlil Gibran “ Kalian senang  membuat hukum, kalian juga senang  melanggarnya. Seperti anak-anak yang bermain di lautan yang akan membangun istana pasir, lalu menghancurkannya dengan tawa”. Dapat dibayangkan, bukan. Mereka tertawa terbahak-bahak sembari menggarut perut gendutnya. Hahahaha…

Fariz Azzamy melihat-lihat kedalam kelas, mencoba mengenali orang-orang didalamnya. Ia takut salah masuk ruangan. Setelah yakin, ia buka pintu itu pelan-pelan, senyum manis teman-temannya menyambut semangat di pagi hari. Ia hanya tersenyum tersipuh malu dan bangga akan hari-harinya. Ohh begitu senangnya hati Fariz Azzamy hadir di tengah-tengah mereka. Tiba-tiba seorang laki-laki berbadan tinggi besar masuk ruangan. Kepalanya cepak laksana seorang prajurit tentara. Atau juga mungkin seorang panglima, karena perutnya buncit. Seperti kebanyakan pejabat tinggi negeri ini yang berperut buncit. Maaf pak, saya tidak bermaksud mengejek, tapi ini hanya hiburan bagi diriku…hehehe. Begitulah suara bisikan dalam pikiran Fariz Azzamy . Laki-laki itu adalah seorang dosen di kelasnya.

Detak dan suara jam dinding terus berjalan. Mesin-mesin pendingin ruangan menderu-deru laksana tentara perang yang menyerang pori-pori tubuh manusia di dalamnya. Mata perkuliahan pun berganti. Fariz Azzamy bergegas menuju ruang kelas lainnya tempat perkuliahan yang akan ia ikuti selanjutnya. Ia duduk agak belakang. Tidak lama kemudian, seorang laki-laki masuk dan mengucapkan salam. Ia seorang dosen. Seorang laki-laki yang berbadan tinggi dan kurus, serta matanya agak cekung. Bagi Fariz Azzamy, laki-laki itu tidak asing lagi baginya. Seorang dosen yang mengajar salah satu mata kuliahnya di semester yang lalu. Laki-laki itu sangat semangat dalam mengajar. Tapi  ada yang berbeda dengan laki-laki kurus itu. sesuatu yang membuat Fariz Azzamy tertekun sekaligus mengaguminya. Ia mengajar dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Walaupun masih terbatah-batah dalam berbicara, dan terkadang diam sembari mencari kata yang tepat, ia sudah cukup bagus bagi ukuran sebagai orang asing. Ia tetap semangat berusaha menggunakan Bahasa Indonesia sesuai dengan kemampuannya. Itu merupakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang belum pernah Fariz Azzamy saksikan sebelumnya. Dalam hatinya Fariz Azzamy berdo’a untuk laki-laki itu, “Semoga Tuhan memberikan kemudahan kepadamu dalam berbicara Bahasa Indonesia, dan semoga Dia selalu menyayangimu”.

Jakarta, 02 Februari 2015

Armawan Ar-Rhaflizh

Dipublikasi di my writing | Meninggalkan komentar

Merantaunya Sang Putra Kehidupan

Hari itu masih sangat pagi. Desir angin malam pun masih berhembus kencang menembus tulang sumsum. Aktivitas kampong juga masih sepi. Daun-daun bersembunyi di balik samar-samar gelapnya malam. Hanya suara kokok ayam yang mulai ramai. Iya baru ayam-ayam yang mulai ribut di sebuah kampong itu. sedangkan kebanyakan manusianya masih asyik dengan mimpi-mimpi mereka, bahkan semakin menarik selimutnya. Memang suasana pagi hari di kampong itu sangat dingin. Sebuah kampong yang masih asri. Namun keasrian kampong itu tidak menghalanginya menjadi kampong yang  sedang berkembang pesat menjadi perkotaan. Di pagi hari yang masih remang-remang itu, ada sebuah rumah tua yang penghuninya  sudah terdengar ramai dan sibuk. Suara dan kesibukkan aktifitas dalam rumah tua itu, samar-samar terdengar oleh tetangganya. Rumah tua itu ialah rumah Fariz Azzamy, Sang Putra Kehidupan. Fariz Azzamy adalah seorang remaja laki laki yang sedang tumbuh menuju kedewasaannya. Iya Sang Putra Kehidupan sedang sibuk menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa merantau. Walaupun sudah ia siapkan sejak kemaren sore hingga malam, tapi masih ada saja hal-hal kecil yang belum ia masukkan ke dalam tasnya. Ibunya sejak pukul tiga pagi sudah sibuk menyiapkan semuanya. Mulai dari masak untuk sarapan dan hal-hal lainnya.

Fariz Azzamy baru saja menyelesaikan sekolah menengah pertamanya. Dan hari itu ia akan pergi merantau untuk melanjutkan pendidikannya. Pergi meninggalkan kampong halamannya. Meninggalkan keluarga dan sanak familinya. Meninggalkan teman-temannya. Fariz Azzamy pergi merantau demi pendidikan dan masa depannya. Ia merantau demi ayah dan ibunya. Dan juga Ia pergi merantau demi mengangkat derajat keluarganya. Ia tidak mau keluarganya di hina dan di rendahkan. Sejak pengumuman kelulusan ia sudah bertekad akan melanjutkan pendidikan ke kota. Ia yakin dengan pendidikan di kota, itu akan membukakan mata dan pikirannya menuju cita-cita yang ada di sanubarinya. Di pagi hari itu, Fariz Azzamy sudah bersiap menuju kota tempat pendidikannya itu. sebuah kota yang jauh dari kampong halamannya. Sebuah kota yang akan mengantarkannya menjadi pribadi yang dewasa dan matang. Ia sendiri sudah lupa keadaan kota itu sekarang. Hanya gedung-gedung bertingkat yang samar-samar terbayang dalam pikirannya. Maklumlah sudah lama sekali ia tidak pergi ke kota itu. terakhir ketika ia masih kelas tiga sekolah dasar dulu. Dan sekarang sudah selesai sekolah menengah pertama, yang artinya sudah enam tahun ia tidak pernah ke kota itu lagi. Dan tentunya sudah pasti banyak perubahan dan kemajuan yang tidak dapat ia bayangkan. Kota itu sekitar 240 km dari kampungnya, dan butuh sekitar lima sampai enam jam menggunakan mobil untuk ke sana. Sebuah kota yang berbeda dengan kampong halamannay. Baik dari segi keadaan, budaya, bahasa, dan lain sebagainya. Sebuah kota Bumi Raflessia.

Fariz Azzamy pergi di antar oleh ayahnya. Setelah mohon restu ibu dan mencium tangannya, pamit dengan adiknya, kakak, sanak family, dan tetangganya, ia msuk ke dalam mobil yang akan mengantarkannya ke Kota Bumi Raflessia. Ia duduk di samping ayahnya. Mobil itu pelan-pelan meninggalkan kampong halamannya. Ia hanya diam, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia hanya memandang keluar memperhatikan pinggiran jalan dan rumah-rumah. Inilah kampong halamanku yang akan ku rindukan, merindukan ibundaku, adik-adik dan kakak-kakakku, begitulah bisik dalam hati Fariz Azzamy. Mobil yang ia tumpangi mulai melaju dengan kencang, maklum jalan  yang ia lalui bebas hambatan dan tanpa ada macet. Hanya Bukit Barisan yang gagah itu yang terus memperhatikan perjalanan kencang mobil yang ia tumpangi.

Setelah melewati semua proses tes masuk, akhirnya Fariz Azzamy di terima di sekolah favorit. Ia belajar sungguh-sungguh, bahkan beberapa kali meraih juara di kelasnya. Dan ketika tamat, ia mendapatkan nialai yang memuaskan.  Setelah menyelesaikan sekolah menengah atasnya, Fariz Azzami pulang ke kampong halamannya. Ia pulang bukan untuk selamanya. Ia hanya pulang sebentar dan akan pergi merantau lagi. Iya benar, bahkan ia akan merantau lebih jauh lagi. Fariz Azzamy mendaptkan beasiswa di salah satu perguruan tinggi di ibukota Jakarta. Keluarganya sangat senang dan bangga padanya. Bahkan mereka mengadakan syukuran sebagai bentuk terima kasih pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kabar tentang Fariz Azzamy mendapatkan beasiswa kuliah di ibukota pun dengan cepat tersebar ke seluruh kampong, bahkan sampai ke kampong tetangganya. Fariz Azzamy berhasil meraih gelar sarjana. Dan saat ini ia sedang menempuh pendidikan master di salah satu universitas terbaik di Indonesia. Teruslah berjalan dan bergerak maju wahai Sang Putra Kehidupan.

Jakarta, 04 Februari 2015

Armawan Ar-Rhaflizh

Dipublikasi di my writing | Meninggalkan komentar

Menghancurkan Gunung Kebodohan dan Kemiskinan

Baginya kamar itu terasa begitu hampa, sesak, panas, dan hambar. Suasana kamar yang kurang menarik tentunya. Baginya kamar tidak hanya sebagai tempat tidur, tapi lebih dari itu. hampir banyak kegiatan pentingnya ia habiskan di kamar yang hampa itu. walaupun sering merasa gelisah dan tidak nyaman, ia tetap bertahan. Terkadang hanya aktifitasnya yang membuat dirinya lupa akan kamar hampanya. Membaca buku dan menulis lebih mengasyikkan baginya daripada terlalu banyak berpikir dan mengeluh akan kamar hampa itu. iya begitulah kamar yang hampa itu, laksana udara didalamnya menggulung bongka-bongka api yang membuat peluhnya bercucuran. Apalagi ketika di sore dan malam hari, kamar itu menampakkan keganasannya. Udara-udara yang masuk, tidak berarti apa-apa. Hampir setiap malam peluh-peluh bercucuran di pori-pori tubuhnya. Menguap ke udara mencoba menyelamatkan diri dari ganasnya hawa panas. Baju yang ia gunakan selama tidur, basah kuyup laksana habis di terpa derasnya hujan di pagi hari. Laki-laki itu berusaha tersenyum ditengah gelapnya kamar hampa itu.

Kamar itu sangat terasa kehampaannya. Terutama ketika habis dari taman-taman sejuk, dan masuk kamar hampa itu. pertama membuka pintunya saja, sudah bisa di rasakan. Suatu penyambutan tamu yang benar-benar hangat, bukan. Muka langsung memerah laksana udang rebus, peluh-peluh berebutan mencoba keluar ke udara, kaki langsung enggan melangkah, dan bisikan-bisikan menyerukan agar tidak masuk. Tapi kenyataannya, laki-laki itu tetap masuk dan menikmati semua keadaannya. Laki-laki itu cukup tegar, bukan. Fariz Azzamy itulah nama laki-laki tersebut. Yang juga biasa disapa dengan Fariz. Fariz merupakan seorang anak mudah  yang cerdas, ganteng, berkulit putih, dan berbadan tinggi. Ia adalah seorang anak mudah perantauan yang berkometmen memutus rantai kemiskinan keluarganya dengan menggeluti dunia pendidikan. Ia meninggalkan kampong halamannya. Meninggalkan keluarga dan sanak familinya jauh di seberang sana.

Semenjak hari itu, ketika ia meninggalkan kampong halamannya, ia telah bertekad untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Fariz Azzamy percaya hanya itu jalan yang harus ia tempuh untuk mematahkan gading kemiskinan. Ia sangat benci kemiskinan, dan sudah muak dengan itu semua. Kemiskinan yang disebabkan oleh kebodohan. Semenjak hari itu ia bertekad untuk terus belajar dan berusaha sekuat tenaga, demi mencapai kehidupan yang lebih baik. Pesawat yang ia tumpangi waktu itu begitu kencang dan cepat meninggalkan tanah kelahirannya. Ia memandang keluar melihat keluarganya yang sedang melampaikan tangan. Fariz Azzamy hanya diam membisu, tidak ada kata-kata yang keluar, pelan-pelan air matanya jatuh tak tertahankan, tinju yang terkepal, terlalu banyak sesuatu yang bergejolak dalam jiwanya. Kata-kata yang kerdil dan bersifat terbatas tidak akan mampu menggambarkannya. Iya proses yang cukup mengharukan, bukan. Semenjak hari itu juga ia telah bertekad agar tidak terlalu manja dengan keadaan. Hanya tujuan dan harapan yang membuatnya terus bergerak maju.

Dan hari-hari telah ia lalui. Angin pagi menyambutnya dengan semangat, selaras dengan hangatnya sang mentari. Desir malampun sering menyapanya, menanyakan keadaan Sang Putra Kehidupan. Iya, Fariz Azzamy adalah Sang Putra Kehidupan. Ia akan terus hidup dalam pelukan sang ibundanya. Pelukan hangat yang penuh kasih sayang, sehingga ia mampu terus bergerak maju. Di tengah malam ia sering terbangun, lalu matanya memandang jauh kedepan menembus tabir-tabir kegelapan, menuju suatu titik cahaya yang sangat ia rindukan. Ia sering malam-malam tidur di luar, meninggalkan kamar hampanya. Menikmati belaian angin yang datang menghampirinya. Hanya tidur beralaskan kardus dan sebuah selimut sudah cukup baginya untuk asyik menikamati mimpi-mimpinya. Fariz Azzamy memang sejak kecil sudah dilatih untuk tidak manja dalam menghadapi kehidupan. sehingga tidur hanya beralaskan kardus tidak masalah baginya. Hal seperti itu bukanlah sikap pasrah menerima apa adanya, tanpa usaha lalu hanya berdiam diri menanti kebaikan. Ia bersyukur akan hasil yang ia dapat, dan tetap rendah hati dengan semangat saling berbagi ketika ia dalam keadaan punya.

Sebagaimana yang telah ia katakan, ia sangat benci kemiskinan. Apalagi kemiskinan yang disebabkan oleh kebodohan. Ia mempunyai motto dalam hidupnya. Motto yang selalu menempel dalam dadanya dan selalu ada di depan matanya. Motto itu ialah “ Jika engkau tidak mau berjuang dalam belajar, maka engkau harus siap berjuang menghadapi kebodohan”. Iya kebodohanlah yang menyebabkan kemiskinan. Penyebab kelaparan. Penyebab kesemerautan dan ketidakteraturan. Penyebab kekacauan. Penyebab kekumuhan. Dan penyebab segalanya. Ia muak dengan semuanya. Fariz Azzamy pergi merantau untuk belajar dari gemerlapnya sang ibukota. Terus belajar untuk menghancurkan gunung kebodohan dan kemiskinan. Tapi ketika pertama kali ia menyaksikan realitas kehidupan yang sesungguhnya sang ibukota, ia sempat sedih dan kecewa. Ternyata ibukota yang ia bayangkan ketika masih di kampong halaman, berbeda dengan keadaan yang sesungguhnya. Dibalik gemerlap dan megahnya sang ibukota, terdapat kebodohan dan kemiskinan yang mengerikan. Itu semua dijadikannya sebagai pembelajaran untuk terus bergerak dan terus belajar . ia tetap optimis bahwa ia mampu menghancurkan gunung kebodohan dan kemiskinan.

Jakarta, 01 Februari 2015

Armawan Ar-Rhaflizh

Dipublikasi di my writing | Meninggalkan komentar

Yohanes Surya; Bapak Fisika Indonesia

“ Tidak ada anak yang bodoh” itulah prinsip Prof. Dr. Yohanes Surya.laki-laki kelahiran Jakarta empat puluh Sembilan tahun yang lalu ini dijuluki sebagai “ Bapak Fisika Indonesia”. Dibawah bimbingannya setiap tahun para anak Indonesia mendapatkan mendali emas pada ajang olimpiade fisika, baik tingkat Asia mapun Internasional.

Yohanes Surya terlahir dalam keluarga sederhana. Ayahnya pensiunan tentara dan ibunya penjual kue. Yohanes Surya merupakan anak cerdas dari Sembilan bersaudara. Yohanes kecil bersama saudara-saudaranya tinggal di daerah kampong persawahan Jatinegara Jakarta. Mereka hidup dengan apa adanya. Bahkan Yohanes Surya bercerita, ia hampir tidak masuk kuliah karena terhambat baiya. Untungnya pada waktu itu ia mendapatkan beasiswa Supersemar dari pemerintah. Berkat kerja kerasnya, Yohanes meraih nilai bagus dan terus mendapatkan beasiswa hingga jenjang doctoral dan meraih gelar profesor. Yohanes Surya meyakini tidak ada kesuksesan tanpa usaha dan kerja keras. Ia mengakui selama kuliah di Universitas Indonesia, ia belajar siang malam. Yohanes tidur hanya rata-rata tiga jam setiap harinya. Kerasnya kehidupan dalam keluarganya dijadikan pembelajaran untuk meraih hidup kedepan yang lebih baik.

Prof. Dr. Yohanes Surya saat ini memiliki Surya Institute yang membawahi Universitas Surya lembaga-lembaga penelitian lainnya. Universitas Surya merupakan universitas yang berbasis research. Universitas Surya ialah satu-satunya universitas berbasis research di dunia. Sedangkan universitas luar negeri kebanyakan hanya universitas research. Universitas Berbasis Research merupakan universitas yang sejak tahun pertama sudah menekankan untuk melakukan research. Dan mahasiswa diberi pilihan untuk melakukan research yang ia inginkan. Mahasiswa juga dibolehkan melakukan research dibidang lain, asalkan mendukung dan bermanfaat bagi research yang sedang ia lakukan.

Prof. Dr. Yohanes Surya mempunyai visi mencetak seratus ribu anak muda Indonesia yang benar-benar mengusai fisika dan sains. Yaitu para sarjana yang mempunyai kemampuan melakukan research yang baik. Dan saat ini ia sudah memiliki sekitar enam puluh research center, juga kedepannya diharapkan mencapai di atas seratus research center. Research center digunakan untuk mendukung para mahasiswa melakukan research atau penelitian. Para pengajar Universitas Surya merupakan doctor dan professor di luar negeri yang sengaja dipanggil dengan visi Indonesia maju bidang sains dan teknologi.  Para doctor dan professor tersebut adalah asli orang-orang Indonesia. Saat ini Universitas Surya mempunyai sekitar dua ratus tenaga pengajar tamatan doctoral dan ahli bidang sains.

Prof. Dr. Yohanes Surya mengharapkan dengan Sumber Daya Manusia yang terdidik, Indonesia bisa menjadi Negara maju pada 2030. Dan menjadi Negara superpower bidang ekonomi dan sains pada 2045, yaitu seratus tahun Indonesia Merdeka.

Jakarta, 15 Januari 2015

Armawan Ar-Rhaflizh

Dipublikasi di Dunia Kampus, Karya Anak Bangsa, my writing | Meninggalkan komentar

Poligami; Mustahil Berbuat Adil

pada kesempatan ini saya ingin membahas tentang pandangan Islam soal poligami. Sebenarnya sudah banyak para ahli yang membahas peroalan ini. Walaupun sudah banyak ulama dan buku-buku yang membahasnya, tapi masih banyak juga yang tidak paham atau tidak mau paham mengenai persoalan yang ini. Mereka masih sering berdebat mengandalkan egonya masing-masing yang sulit menerima perbedaan pandangan dari pihak lain. Sebenarnya jika mereka mau belajar menerima pendapat yang berbeda, tentu akan lebih baik.

Sebenarnya perdebatannya masih berkutat pada pemahaman ayat al-Qur’an yang membahas tema ini. Yaitu al-Qur’an surah al-Nisa: 3, “kawinilah apa yang baik bagi kalian, daripada wanita-wanita dua, tiga, atau empat orang wanita (tetapi) jika kalian takut tidak dapat bersikap adil, maka cukup hanya istri satu saja”.

Beberapa ulama berbeda pendapat terhadap pemahaman ayat ini. Ada yang menyatakan dua ditambah tiga ditambah empat jadi Sembilan. Ada yang mengatakan paling banyak empat. Dan ada juga yang mengatakan punya istri cukup satu, dan boleh beristri sampai empat kali jika sudah dicerai atau meninggal. Artinya tidak boleh beristri empat orang sekaligus. Dan boleh beristri sampai empat kali jika dicerai atau meninggal dunia.

Saya mendapatkan kesamaan pandangan antara dua ulama besar di negeri ini. Yaitu antara pandangan Prof. Dr. Umar Shahab yaitu saat saya mewawancarai beliau satu bulan yang lalu, dan pandangan Gusdur yang dikutip dalam bukunya “ Islamku Islam Anda dan Islam Kita”. untuk sementara ini saya baru mendapatkan dua pandangan tokoh besar ini. Dan saya yakin pandangan ulama besar di negeri ini terhadap tema ini semuanya hampir sama atau sama.

Yaitu pandangan al-Qur’an soal tema ini. Dan sebagian besar ulama menyatakan cukup punyai istri satu. Sebenarnya al-Qur’an ingin membuat suatu grafik dari kebiasaan orang Arab yang mempunyai istri cukup banyak. Dari seratus, lima puluh, dua lima, lima belas, sampai pada akhirnya empat. Artinya al-Qur’an tidak menetapkan hukum sekaligus.

Dalam bukunya Gusdur diatas dikutip, belum lagi jika digelar diskursus tentang kata “in” (jika) dalam ayat tersebut, maka hasilnya akan sangat berbeda. Kata ‘in’ (jika) dalam ayat ini menunjuk pada sesuatu yang sulit atau bahkan mustahil terjadi. Dalam ayat itu dikatakan kalian boleh beristri dua, tiga, atau empat ‘jika’ bisa berbuat adil. Kata ‘jika’ merupakan sesuatu yang sulit bahkan mustahil bisa berbuat adil. Jadi beristri lebih dari satu dengan adil adalah sulit atau mustahil.

Jakarta, 12 Maret 2013

Armawan Ar-Rhaflizh

 

 

 

 

 

Dipublikasi di my writing | Meninggalkan komentar