Pertemuan di Balik Jendela Kaca

Pagi itu masih berembun, angin-angin berhembus kencang menusuk hingga tulang sumsum, sekaligus menggoyangkan dedaunan yang masih tertidur pulas. Sebuah sepeda motor astria menderu-deru membela jalanan. Seorang remaja lelaki yang berada di atas motor itu  mengenggam erat tangannya menahan dinginnya angin pagi hari. Motor itu akhirnya melaju pelan-pelan ketika sudah mendekati sebuah gerbang sekolah. Iya hari itu merupakan hari pertama seorang remaja laki-laki yang bernama Fariz Azzamy masuk sekolah menengah atas di sebuah kota yang asri dan bersejarah. Ia di antar kakak sepupunya pada hari pertama itu. ia masuk gerbang sekolah yang megah itu dengan santai. Berjalan di antara para pelajar yang sedang asyik mengobrol  dengan temannya masing-masing. Fariz Azzamy sendiri belum mendapatkan teman. Belum ada seorangpun yang ia kenal pada hari pertamanya itu. orang-orang di sekelilingnya masih terlihat asing baginya. Ia memperhatikan dengan seksama gedung-gedung megah sekolahnya. Menikmati taman-taman indah di sana. Hanya lapangan ditengah sekolah itu yang masih kurang menarik baginya. Suatu lapangan sisa-sisa pembangunan yang menerbangkan debu-debu merah  ketika diterpa angin siang hari.

Hari pertama dari satu minggu itu merupakan proses pengenalan tentang sekolah atau yang lebih dikenal dengan Masa Orientasi sekolah (MOS). MOS sendiri hanya dilaksanakan selama dua hari. Dan kegiatannya benar-benar dibuat sebagai proses pengenalan semua aspek tentang sekolah itu. tidak ada yang aneh-aneh, apa lagi Sesuatu yang berindikasi pada penyiksaan dan kekerasan. Anak-anak baru benar-benar dibimbing untuk mengenali sekolah dengan baik. Banyak juga permainan dan hiburan yang mengasyikkan. Dari proses  MOS itu juga Fariz Azzamy dengan yang lainnya saling berkenalan dan berteman satu sama lain. Di hari terakhir masa orientasi sekolah, di umumkan peserta terbaik. Di dalam aula sekolah yang besar itu, panitia mengumumkan peserta terbaik MOS tahun itu. setelah disebutkan namanya, majulah seorang perempuan cantik dan anggun. Suasana ruangan itu langsung riuh dengan tepuk tangan dan suit-suitan dari para lelaki. Semua laki-laki di dalam ruangan itu langsung terpukau melihat kecantikan perempuan itu. iya perempuan cantik itu adalah peserta terbaik MOS tahun itu. para peserta lelaki mulai saling berbisik antar satu dengan yang lain, menanyakan nama perempuan itu. sedangkan Fariz Azzamy hanya diam dan tersenyum. Dalam hatinya berkata, “aku akan melindungi perempuan itu dari para lelaki berengsek ini. Aku tidak akan membiarkan mereka menganggunya”.

Hari- hari telah berlalu, aktivitas pembelajaran pun sudah di mulai, tapi kecantikan perempuan sebagai peserta terbaik MOS itu masih menjadi topic hangat pembicaraan di lingkungan sekolah itu. paling tidak di kalangan para pelajar laki-laki. Fariz Azzamy juga terus berusaha  mencari cara untuk bisa kenal dengan perempuan itu. sebenarnya kelas mereka berdekatan, hanya ada satu kelas di antara kelas mereka. Walaupun begitu, tapi Fariz Azzamy masih terlalu polos, ia malu berkenalan. Apalagi dengan perempuan cantik, bisa-bisa ia langsung gemetaran dan tidak dapat berkata apa-apa lagi. Pada suatu hari, Fariz Azzamy melihat perempuan itu berjalan sendiri di depan kelasnya. Lalu ia buru-buru mendekati jendela kaca kelasnya untuk melihat perempuan itu. tiba-tiba perempuan itu  menoleh ke jendela kaca itu juga. Mata mereka bertemu, saling memandang, dan saling tersenyum. Detak jantung Fariz Azzamy berdegup kencang, dadanya kempang-kempis, ia merasakan getaran cinta. Iya itulah pertemuan pertama mereka. Suatu pertemuan di balik jendela kaca.

Pagi harinya di bawah rintik-rintik hujan, ketika di dekat kelasnya, perempuan itu menyapa Fariz Azzamy sembari tersenyum manis. Fariz Azzamy masih terlalu polos, ia hanya membalasnya dengan senyuman dan berkata hey. Ketika di masjid setelah shalat dzuhur, perempuan itu menyapanya lagi. Tapi lagi-lagi Fariz Azzamy terlalu polos dan hanya tersenyum. Ia tidak mampu lebih dari itu. getaran dalam dadanya terlalu kuat, sehingga ia tidak mampu berkata apa-apa, kecuali hanya tersenyum. Seiring berjalannya waktu, akhirnya terbentuklah persahabatan di antara mereka. Persahabatan dua insan anak manusia. Mereka memilki satu buku persahabatan yang berisi berbagai hal tentang mereka berdua. Hari-hari mereka lalui bersama dengan semangat persahabatan. Mengobrol dengan asyik, pergi ke perpus, les computer, dan pulang sekolah bersama. Malam hari terasa begitu lama bagi Fariz Azzamy. Bayangan wajah perempuan cantik sahabatnya itu selalu hadir di setiap sudut kelopak matanya.  Ingin rasanya segera pagi hari dan langsung pergi ke sekolah. Hari-hari begitu indah bagi Fariz Azzamy. Perempuan cantik sekaligus sahabatnya itu bernama “ D. Anggriani” lahir “ 31 Desember”. Ada suatu nama untuk mereka berdua. Nama yang mereka ciptakan sendiri, yaitu “ Dewan Rhaflizia”. Iya nama itu adalah nama mereka berdua.

Hari-hari mereka lewati dengan saling berbagi cerita, saling memahami dan mengerti satu sama lain, saling memberikan semangat belajar. Persahabatan itu, benar-benar membuat suasana yang sangat menyenangkan bagi Fariz Azzamy. Ia menikmati suasana sekolah. Menikmati proses belajar yang begitu indah mengalir apa adanya. Persahabatan yang memberikan perubahan positif baginya. Ia belajar dengen tekun dan selalu berusaha aktif di kelasnya. Iya persahabatan itu menumbuhkan semangat dalam diri mereka berdua. Terbukti pada akhir semester, mereka berdua sama-sama meraih juara di kelasnya masing-masing. Mereka berdua maju kedepan bersama. Melihat jaraknya agak jauh, D. Anggriani berkata pada Fariz Azzamy “  Fariz kesini lebih dekat”, mendengar hal itu Fariz Azzamy mendekat dan tersenyum. ahhh sungguh moment itu begitu indah.

Sebenarnya hubungan itu tidak hanya sebatas persahabatan, tapi lebih dari itu. Fariz Azzamy punya rasa suka, cinta, dan sayang pada D. Anggriani. Begitu juga sebaliknya. Itu terlihat dari tatapan mata mereka berdua. Mata tidak akan mampu berbohong akan perasaannya. Tapi Fariz Azzamy terlalu takut. Takut kehilangan sahabatnya. Takut kehilangan orang yang ia cintai. Takut kalau ungkapan cinta itu hanya akan merusak hubungan persahabatan mereka berdua. Akhirnya Fariz Azzamy lebih memilih menahan perasaannya. Lebih memilih untuk tidak mengatakannya. Hingga suatu hari, ada laki-laki yang mendekati D. Anngriani. Mendekati sahabatnya itu. mereka tampak cocok, dan akhirnya tumbuh hubungan spesial di antara mereka. Fariz Azzamy tidak mampu berbuat apa-apa kecuali hanya diam membisu, menahan gejolak dalam dadanya. Ia memilih menghindar dan menjauh. Dan itulah titik awal renggangnya persahabatn mereka. Walaupun pada suatu malam, Fariz Azzamy mengungkapkan perasaannya. Tapi  itu hanyalah usaha yang sia-sia. Semuanya sudah terlambat.

Hingga mendekati kelulusan, hubungan persahabatan mereka masih renggang. Pada suatu hari, mereka bersama-sama mengikuti tes beasiswa dari salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Fariz Azzamy masih memberikan minum kepada sahabatnya itu. baginya sahabat tetap sahabat. persahabatan tidak ada kata putus. Melihat Fariz Azzamy memberinya minum, D. Anggriani hanya mengucapakan terima kasih dan tersenyum manis. Sebenarnya mereka berdua sama-sama di terima dan mendapat beasiswa itu, tapi hanya Fariz Azzamy sendiri yang jadi mengambil tawaran beasiswa itu dan berangkat ke Jakarta. Sedangkan D. Anggriani sahabatnya, berangkat ke Kota Gudeg Jogja. Di sana ia kuliah di salah satu universitas terbaik Jogja dengan jurusan psikologi. Akhirnya dua sahabat itu dipisahkan oleh jarak antara Jakarta-Jogja.

Hari-hari ia lalui. Suasana ibukota begitu sibuk. Jalanan terlalu berisik oleh klakson yang memekakkan telinga. Hidup di ibukota terasa hampa bagi Fariz Azzamy. Awalnya ia berharap bisa melupakan sahabatnya. Melupakan pujaan hatinya itu.  menghilangkan rasa dalam dadanya yang menyiksa. Tapi pada kenyataannya, Fariz Azzamy tidak bisa, tidak mampu. Perasaan itu begitu kuat dalam hatinya. Bahkan yang ada tumbuh rasa rindu kepada sahabat sekaligus pujaan hatinya itu. rasa rindu yang semakin lama semakin membeku dalam dada. Hari-harinya penuh dengan rasa gelisah. Wajah sahabatnya itu memenuhi mimpi-mimpi tidurnya. Kenangan indah persahabatan selalu terbayang dalam benaknya. Pada malam itu, Fariz Azzamy sedang asyik membaca buku, tiba-tiba handphone genggamnya berdering-dering tanda ada panggilan masuk. Ternyata nomor baru, lalu ia angkat sembari mengucapkan salam. Suara di sana pun menjawab salam dengan lembut. Detak jantung Fariz Azzamy langsung berdegup kencang, tangan gemetar,  ia terdiam sejenak menahan nafasnya. Suara itu tidak asing baginya. Suara khas yang ia rindukan selama ini. Suara yang memberikan semangat hidup ketika ia masih di bangku sekolah. Suara yang sudah lama menghilang. Suara yang bersembunyi di balik kisah-kisah kehidupan. iya suara itu adalah suara perempuan cantik yang jauh disana. Suara sahabat lama sekaligus pujaan hatinya. mereka saling bertanya tentang kabar sahabatnya.

Semejak malam itu, dua sahabat itu kembali sering saling telpon. Mengobrol ngawur ngidul, bercerita tentang kuliah masing-masing, mengenang kisah persahabatan mereka, bahkan sampai saling berbagi tentang rencana hidup mereka ke depan. Mereka telponan hingga berjam-jam dengan asyik, tertawa, dan saling bercanda mesra. Pada suatu malam dengan sikap dewasa, Fariz Azzamy berkata pada D. Anggriani sahabatnya itu “ sahabatku, dengan penuh kejujuran dan kesederhanaan, sebenarnya aku dari dulu hingga kini punya rasa padamu. Perasaan sayang dan cinta. Perasaan yang  lebih dari sekadar sahabat. tapi harus ku akui juga bahwa aku belum bisa menetapkan engkau yang terbaik untukku, karena aku belum tahu siapa yang terbaik untukku. Hanya Tuhan yang tahu orang yang terbaik untuk kita”.

Mendengar  itu D. Anggriani hanya diam. Suasana hening sebentar, kemudian ia berkata dengan lembut “ Fariz sahabatku, terima kasih atas kejujurannya. Sebenarnya dulu aku juga punya perasaan sayang dan cinta padamu. Perasaan lebih dari sekedar sahabat. aku tahu, waktu itu kita mempunyai perasaan yang sama. Aku tahu dari tatapan matamu. Berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan aku menunggu agar engkau mengungkapkannya padaku. Tapi engkau terlalu lama menyampaikannya. Hingga aku lelah menunggu. Hingga aku jenuh menunggumu. Perempuan terlalu malu mengungkapkan perasaannya. Dan aku juga tidak mampu melakukannya. Sebagai perempuan, aku waktu itu hanya bisa menunggu dan menunggu hingga aku lelah dan jenuh. Hingga semuanya tidak memungkinkan lagi untuk kita bersama. Aku masih sangat ingat pertama kali kita bertemu di depan kelasmu. Kita bertemu di balik jendela kaca. Tatapan matamu waktu itu menggetarkan hatiku. Sahabatku, untuk sekarang aku  membuka hatiku untuk siapa saja, termasuk dirimu. Jika engkau terbaik untukku, dan aku yang terbaik untukmu, suatu saat nanti kita pasti akan di pertemukan hingga membentuk suatu keluarga. Dan untuk saat ini sebaiknya kita fokus dulu dengan kuliah kita masing-masing”.

Mendengar jawaban sahabatnya itu, Fariz Azzamy hanya terdiam juga. Lagi-lagi suasana menjadi hening. Hanya hembusan angin malam yang terus menggoyangkan dedaun di sampingnya. Setelah beberapa saat, kemudian Fariz Azzamy memecah keheningan dengan bercerita mengenang kisah perjalanan persahabatan mereka. Saat ini D. Anggriani sahabatnya itu sudah tidak di Jogja lagi. Ia telah kembali ke Kotanya yaitu Kota Bumi Raflessia dan telah  mempunyai kehidupannya sendiri. Sedangkan Fariz Azzamy masih menempuh pendidikan master di salah satu universitas terbaik di Indonesia. Sahabat tetaplah sahabat walau bagaimana pun keadaannya. Teruslah saling berbagi Dewan Rhaflizia. Pertemuan di balik jendela kaca.

Jakarta, 05 Februari 2015

Armawan Ar-Rhaflizh

Tentang Rhaflizh

Armawan Ar-Rhaflizh lahir di Bengkulu
Pos ini dipublikasikan di my writing. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar