Senderella; Bersuaralah atau Menjeritlah

Saya sangat senang jika ada perempuan yang berani bersuara menyuarakan ketidakadilan terhadap dirinya. Berani bersuara dengan lantang, didukung juga dengan pandangan yang kuat. Saya mendambakan para perempuan yang ada di kampus-kampus, di kelas-kelas yang hanya diam itu berani menyuarakan hak-haknya.  Bersuaralah sekeras-kerasnya atas kebungkaman ini. Bersuaralah dengan penuh semangat atas ‘kediktatoran’ ini. Bersuaralah di forum-forum diskusi, di acara seminar, di kelas-kelas, di lembaga-lembaga keagamaan, di panggung politik, di pentas seni, di buku-buku, majalah, jurnal, koran, media, semuanya.

Bersuaralah!!!  Bersuaralah dengan jelas dan baik. Jika kalian memang belum mampu bersuara, maka menjeritlah dengan keras agar mereka bertanya ada apa dengan kalian. Menjeritlah seperti anak kecil yang kena cubit. Menjeritlah seperti anak kecil yang ingin dibelikan mainan. Atau seperti anak-anak yang ingin dibelikan boneka cantik. Atau juga bisa seperti waktu saya masih kecil yang ingin mobil-mobilan, saya menjerit lalu guling-guling di tengah pasar. Semakin di cubit , semakin keras juga saya menjerit. Hingga saya mendapatkan mobil-mobilan yang saya dambakan itu. Sungguh usaha saya itu luar biasa, bukan. Begitu juga dengan kalian wahai para perempuan. Saya mengharapkan kalian  berani bersuara dengan baik, layaknya seperti para perempuan terhormat. Atau menjeritlah dengan keras seperti anak kecil.

Jika kalian hanya diam membisu. Hanya diam tanpa suara. Atau bahkan tak mampu menjerit, maka apa yang harus saya perbuat untuk membantu kalian. Apa yang harus didengar oleh mereka di sana? Tentunya mereka akan sangat senang jika kalian hanya diam dan menerima dengan polos kediktatoran itu. Bahkan saking senangnya  mereka akan tertawa terbahak-bahak sembari memegang perut buncitnya. Apakah kalian para perempuan menerima semuanya? Bahwa kalian tidak boleh bernyanyi dan mengaji di depan publik karena  dianggap suara kalian aurat ? apakah kalian sangat senang menjadi “anak yang baik” dan hanya tinggal di dalam kamar hampa itu?.

Ohhh tidak. Sungguh secara pribadi saya mengharapkan kalian tidak seperti itu.  Iya memang peraturan itu sangat kuat. Suatu peraturan yang mendapat legitimasi agama. Suatu peraturan yang dibuat atas nama budaya mereka. Tapi bukan berarti hal itu tidak dapat di ganggu guggat, bukan?. Bukan berarti hal itu tidak dapat dibongkar, iya kan? Wahai para perempuan beranilah bersuara. Bersuara dengan keras hingga mereka dengar. Jika mereka tidak mau mendengarkan, maka tetaplah bersuara. Bahkan bersuaralah lebih keras hingga gendang telinga mereka pecah. Bersuaralah.

Jakarta, 15 Maret 2015

Armawan Ar-Rhaflizh

Tentang Rhaflizh

Armawan Ar-Rhaflizh lahir di Bengkulu
Pos ini dipublikasikan di my writing. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar