Pengantar Filsafat

Definisi filsafat

Filsafat secara harfiah atau etimologi berasal dari kata Philo berarti cinta, Sophos berarti ilmu atau hikmah, jadi filsafat secara istilah berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Pengertian dari teori lain menyatakan kata Arab falsafah dari bahasa Yunani, philosophia: philos berarti cinta (loving), Sophia berarti pengetahuan atau hikmah (wisdom), jadi Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta pada kebenaran. Pelaku filsafat berarti filosof, berarti: a lover ofwisdom. Sebelum kita mendefinisikan makna Filsafatsecara Terperinci lagi, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu beberapa metode dalam mendefinisikan sebuah ilmu pengetahuan :

  1. Definisi dari sisi persoalanya, misalnya ketika kita mendefinisikan matematika sebagai ilmu yang membahas tentang penjumlahan dan pengurangan, perkalian dan pembagian dan sebagainya.
  2. Definisi dari subjek pengetahuan, seperti ketika kita mendefinisikan matematika sebagai ilmu yang membahas tentang kuantitas.
  3. Definisi dari sisi faedah dan tujuanya, seperti ketika kita mendefinisikan matematika sebagai ilmu yang memudahkan kita dalam perhitungan.

Namun, boleh jadi ada yang mendefinisikan bidang ilmu pengetahuan dan memasukkan seluruh atau sebagian dari unsur diatas secara menyeluruh.

Metode terbaik dalam mendefinisikan sesuatu adalah sebagai berikut, menjelaskan subjeknya ; menjelaskan persoalan dan esensi pengetahuan ; dan memperhatikan seluruh dimensi di atas ketika mencoba mendefinisikanya.

Sekarang, setelah kita mengetahui subjek filsafat dan substansi persoalanya maka kita dapat mendefinisikan filsafat sebagai, “filsafat adalah ilmu yang membahas mengenai prinsip-prinsip wujud mutlak”, “filsafat adalah ilmu yang membahas prinsip-prinsip universal wujud” atau serangkaian proposisi dan persoalan wujud sebagai wujud”.

Tentunya ada definisi-definisi lainya yang yang dikemukakan dalam buku-buku filsafat, seperti menurut  Plato yang menganggap bahwa filsafat adalah alat yang berfungsi melatih diri untuk mati. Kemudian Mulla sadra beliau mengatakan filsafat adalah alat untuk menyempurnakan diri. Namum makalah ini tempat yang tepat untuk merinci lebih jauh. Beberapa definisi yang kami tuliskan diatas adalah beberapa definisi yang populer diantara para filoshof.

 

 

 

Sejarah Filsafat

Di dalam sejarah filsafat dijelaskan bahwa 5 abad sebelum masehi terdapat sekelompok intelektual yang dalam bahasa Yunani disebut dengan ‘Sopihis’ , yang bermakna hakim atau ilmuwan. Kelompok ini selain memiliki pengetahuan yang cukup luas terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pada zamanya, mereka juga berkeyakinan bahwa tidak ada sama sekali hakikat dan pengetahuan yang bersifat tetap. Mereka berpendapat bahwa tidak ada pengetahuan yang bisa memberikan keyakinan dan makrifat secara pasti. Kerja mereka adalah mengajarkan metode diskusi dan seni dalam berdebat. Mereka melahirkan banyak pengacara untuk membolak-balik fakta yang ada disidang pengadilan. Mereka mahir membuat kebatilan menjadi kebenaran atau kebenaran menjadi kebatilan. Oleh karna pekerjaan mereka adalah mengajarkan orang-orang bagaimana jatuh dalam kesalahan berfikir, akhirnya perlahan-lahan mereka sendirilah yang jatuh dalam kesalahan berfikir tersebut sehingga sampai pada suatu tahap mereka berkeyakinan bahwa tidak ada hakikat atau realitas dibalik pemikiran manusia!

Akhirnya kata ‘sophis’ yang bermakna ilmuan tidak lagi dipakai karna kata itu lebih dilekatkan pada orang-orang yang terjebak dalam kesalahan berfikir atau orang-orang yg mengingkari realitas.

Didalam menghadapi gerakan skeptisisme ini, socrates adalah tokoh pertama yang bangkit menentangnya dengan menyerang pandangan pandangan-pandanganya. Socrates menyebut dirinya ‘philosophos’ yang merupakan gabungan dari dua kata yaitu Phylos (pecinta) dan Sophia (hikmah/bijaksana).

Sejarah filsafat mencatat bahwa alasan socrates menamakan dirinya ‘Philosophos’ dikarenakan dua hal. Pertama, karna beliau rendah hati dan mengakui akan ketidaktahuanya mengenai sesuatu. Kedua, kritiknya pada kelompok skeptis pada masa itu yang menanamkan dirinya kaum ‘sophis’ dimana kelompok ini muncul hanya untuk kepentingan materi dan politik. Setelah socrates, kata filsafat senantiasa digunakan untuk menentang sophisme. Jalan socrates kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Plato. Kemudian dilanjutkan oleh murid Plato yang begitu luar biasa yaitu Aristoteles. Didalam filsafat, Aristoteles mendapat gelar sebagai ‘guru pertama’. Sumbangsih sangat besar Aristoteles adalah kritik beliau terhadap pemikiran gurunya dan hal inilah yang menyebabkan filsafat menyebar secara luas. Akhirnya, Aristoteles menulis buku logika yang merupakan karya utama beliau dan sumbangsih terbesarnya bagi kemanusiaan.

 

 

 

Tokoh-Tokoh Filsafat

  • Socrates Athena tinggal 469-399 SM, menghabiskan sebagian besar hidupnya berjalan di jalan-jalan, mulai argumen, dan membingungkan semua pendengarnya. Banyak mengakreditasi Socrates sebagai pendiri Filsafat Barat seperti yang kita kenal.
  • Plato Filosof Yunani kuno tak pelak lagi cikal bakal filosof politik Barat dan sekaligus dedengkot pemikiran etika dan metafisika mereka. Pendapat-pendapatnya di bidang ini sudah terbaca luas lebih dari 2300 tahun. Tak pelak lagi, Plato berkedudukan bagai bapak moyangnya pemikir Barat.
  • Aristoteles Beberapa ide Aristoteles kelihatan reaksioner diukur dengan kacamata sekarang. Misalnya, dia mendukung perbudakan karena dianggapnya sejalan dengan garis hukum alam. Dan dia percaya kerendahan martabat wanita ketimbang laki-laki. Kedua ide ini-tentu saja –mencerminkan pandangan yang berlaku pada jaman itu. Tetapi, tak kurang pula banyaknya buah pikiran Aristoteles yang mencengangkan modernnya, misalnya kalimatnya, “Kemiskinan adalah bapaknya revolusi dan kejahatan,” dan kalimat “Barangsiapa yang sudah merenungi dalam-dalam seni memerintah manusia pasti yakin bahwa nasib sesuatu emperium tergantung pada pendidikan anak-anak mudanya.” (Tentu saja, waktu itu belum ada sekolah seperti yang kita kenal sekarang).
    • Julukan:
      • – Ahli filsafat terbesar di dunia sepanjang zaman.
      • – – Bapak peradaban barat.
      • – – Bapak ilmu pengetahuan atau guru (nya) para ilmuan.
  • Penemuan:
    • – Logika (Ilmu mantic: pengethaun tenatng cara berpikir dengan baik, benar, dan sehat.
    • – – Biologi, fisika, botano, astronomi, kimia, meteorology, anatomi. Zoology, embriologi, dan psikologi eksperimental

 

  • Jean-François Lyotard menekankan pada peran dari naratif dalam kebudayaan manusia, yang dapat membuat suatu perubahan saat memasuki situasi posmodern, dan dia meyakini bahwa suatu kebenaran merupakan hasil kesepakatan, sehingga tidak ada hal yang benar-benar mendasari suatu kebenaran (anti-foundationalist) dan terkenal dengan language games-nya.
  • Jacques Derrida (1930) terkenal dengan dekonstruksinya. Pada awalnya adalah penemu dan penganut awal dekonstruksi. Dekonstruksi merupakan analisis tekstual yang dapat diterapkan dalam berbagai tulisan, dimana dia menganggap filosofi tidak lebih dari sebuah literatur yang kreatif. Menurutnya filosofi adalah bagian yang paling penting dari sebuah tulisan, tergantung pada sebuah operasionalisasi ekspresi imajinatif.
  • Michel Foucault berangkat dari strukturalisme namun pada saat yang sama dia juga menolak (melawan) strukturalisme, dan menyadari bahwa sebuah pengetahuan didefenisikan dan dirubah oleh operasionalisasi sebuah kekuasaan (power).
  • Ibn siena seorang filosof yang beraliran paripatetik ini sangat luar biasa selain ahli dibidang filsafat ibn siena juga dikenal ahli dibidang kedokteran. Di antara buku-buku dan risalah yang ditulis oleh Ibnu Sina, kitab al-Syifa’ dalam filsafat dan Al-Qanun dalam ilmu kedokteran dikenal sepanjang massa. Al-Syifa’ ditulis dalam 18 jilid yang membahas ilmu filsafat, mantiq, matematika, ilmu alam dan ilahiyyat. Mantiq al-Syifa’ saat ini dikenal sebagai buku yang paling otentik dalam ilmu mantiq islami, sementara pembahasan ilmu alam dan ilahiyyat dari kitab al-Syifa’ sampai saat ini juga masih menjadi bahan telaah.
  • Al-farabimenurut al-Farabi, Tuhan itu memiliki sifat Maha Satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari pengertian banyak, Maha Sempurna dan tidak memrlukan kepada apapun dan siapapun. Menurut beliau alam materi yang banyak ini terjadi dengan cara emanasi atau pancaran yakni Tuhan sebagai Wujud pertama dengan mengalami tahap-tahap pemancaran itu, dimana setiap tahap pemancaran terjadilah suatu alam materi tertentu, demikian seterusnya sehingga sempurnalah kejadian alam materi.
  • SuhrawardiPokok pemikiran Suhrawardi adalah tentang teori emanasi, ia berpendapat bahwa sumberdari segala sesuatu adalah Nuur An-Nuur (Al-Haq ) yaitu Tuhan itu sendiri. Yang kemudianmemancar menjadi Nuur al-Awwal, kemudian memancar lagi mejadi Nuur kedua, danseterusnya hingga yang paling bawah (Nur yang semakin tipis) memancar menjadi Alam(karena semakin gelap suatu benda maka ia semakin padat).

 

Aliran-Aliran Filsafat Islam

  1. 1.      Aliran Paripatetik. istilah “paripatetik” merujuk pada kebiasaan Aristoteles dalam mengajarkan filsafatnya kepada murid-muridnya. Paripatetik (masya’un) berarti “ia yang berjalan memutar atau berkeliling”. Dan ini merujuk pada kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi murid-muridnya, ketika ia mengajarkan Filsafat. Dengan demikian istilah paripatetik merujuk kepada para pengikut setia Aristoteles. Sekedar untuk diketahui saja, dalam islam kita memiliki bebrapa aliran non-paripatetik.

Dalam islam, kita mengenal beberapa filosof yang dapat dikategorikan kedalam aliran ini, yaitu al-Kindi, al-Farabi, ibn siena, Ibn rusd, dan Nashir al-Din Thusi.

Ciri khas aliran paripatetik ini membedakan dari aliran-aliran lainya. Ciri khas aliran ini dari sudut metodologis atau epistimologis, dan itu bisa dikenali dalam beberapa hal : (1) modus ekspresi atau penjelasan para filosof paripatetik bersifat sangat diskursif (bahtsi), yaitu menggunakan logika formal yang didasarkan pada penalaran akal. Prosedur penalaran yang mereka gunakan adalah apa yang dikenal dalam istilah filsafat sebagai “silogisme” yaitu metode penarikan kesimpulan dari pengetahuan yang telah diketahui dengan baik, yang mereka sebut dengan premis (mayor dan minor), dan setelah ditemukan term yang mengantarai dua premis diatas yang biasa disebut “midle term” atau al-hadd al-awsath.

(2) karna sifatnya yang diskursif, maka filsafat yang mereka kembangkan bersifat tak langsung. Dikatakan tak langsung karena untuk menangkap objeknya mereka menggunakan simbol baik berupa kata-kata atau konsep maupun representatif. Modus pengetahuan seperti ini biasa disebut husuli (perolehan); yakni diperoleh secara tidak langsung melalui prantara, atau yang saya sebut dengan “infrensial” dan biasanya dikontraskan sengan modus pengenalan lain yang disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence) yang menangkap objeknya secara langsung melalui kehadiran. (3) ciri lain dari filsafat paripatetik dari sudut metodologis ini adalah penekanan yang sangat kuat pada daya-daya rasio sehingga kurang memprioritaskan pengenalan intuitif, yang sangat dikenal dalam aliran lain, seperti Isyraqi (iluminasionis) maupun Irfani (gnostik). Akibat penekanan yang kuat terhadap daya-daya akliah, maka mereka dikatakan oleh aliran lain sebagai tidak memperoleh pengetahuan yang otentik (yang biasanya diperoleh melalui pengalaman mistik) tetapi lebih bergantung pada otoritas para pendahulu mereka. Tidak berarti mereka tidak mengakui adanya intuisi suci, tetapi bagi mereka nampaknya itu hanya dimiliki para Nabi dan wali. Adapun mereka sendiri lebih menggantungkan filsafat mereka pada daya-daya atau kekuatan akal semata. Karna itu aliran paripatetik barangkali pantas disebut sebagai wakil dari kaum rasionalis islam.

Ciri khas lain dari aliran paripatetik ini berkaitan dengan aspek ontologis. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam ajaran mereka yang biasa disebut hylomorfisme, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang ada di dunia ini terdiri atas dua unsur utamanya yaitu materi dan bentuk.

Dalam sejarah filsafat, ajaran ini dirumuskan dengan jelas oleh Aristoteles, sebagai hasilreformasi terhadap ajaran gurunya, Plato, yang mengatakan bahwa apa yang ada di dunia ini tidak lain daripada bayang-bayang dari idea-idea yang ada di dunia atas-yang kemudian bisa disebut idea-idea plato (platonic ideas). Ide-ide ini direformulasikan Aristoteles sebagai bentuk, dan bayang-bayangnya sebagai materi. Tetapi yang dimaksud dengan bentuk disini bukanlah bentuk fisik, melainkan semacam Esensi (hakikat) dari sesuatu, sedangkan materi adalah bahan, yang tidak akan mewujud (atau muncul dalam bentuk aktualitas ) kecuali setelah bergabung dengan bentuk tadi.

Di dunia islam hampir semua filosof paripatetik, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, memiliki pandangan Hylomorfis ini, dan mungkin karna itu maka para filosof di atas disebut filosof paripatetik(masya’iyyun), yang dapat dibedakan dari aliran filsafat lainya, yaitu isyraqi (iluminasionis).

Indikasi yang kuat dari ajaran hylomorfis ini dapat dilihat dari ajaran para filosof paripatetik muslim, khususnya al-Farabi dan Ibn Sina, yang menyebut akal aktif sebagai pemberi bentuk. Ajaran ini mengatakan bahwa alam fisik ini terdiri atas materi dan bentuk. Materi harus difahami disini sebagai bahan, yang potensial menerima bentuk apapun, tetapi tidak/belum lagi berbentuk fisik. Ibn Sina menyebut materi ini sebagai mumkin al-wujud, yaitu kemungkinan atau potensi dari sesuatu untuk mewujud, namun belum lagi untuk mewujud. Nah, agar potensi-potensi ini mewujud atau mengaktual maka perlu ditambahkan atau diberikan kepadanya bentuk. Semua benda yang dapat kita lihat di alam semesta ini tentu saja telah mendapatkan bentuknya masing-masing. Menurut keyakinan mereka, akal aktiflah,-bisa diidentikkan dengan malaikat jibril,-yang telah memberikan bentuk-bentuk tertentu kepada benda-benda tersebut. Itulah sebabnya maka akal aktif itu disebut “wahib al-shuwar” atau “pemberi bentuk”.

Ciri terakhir dari paripatetik islam yang agak menyimpang dari Aristotelianisme murni adalah apa yang kemudian dikenal dengan ajaran atau teori emanasi. Bahkan, bukan hanya al-Farabi dan Ibn Sina yang mempertahankan ajaran ini, tetapi juga suhrawardi, pendiri aliran Isyraqi –tentunya dengan modifikasi yang cukup fundamental, seperti yang akan kita jelaskan setelah ini.

 

 

 

  1. Aliran Iluminasionis(Isyraqi)Sejarah membuktikan bahwa perkembangan filsafat di dunia Islam terinspirasi dari pemikiran para filosof Yunani yang telah mendominasi ranah intelektual manusia jauh sebelum agama Islam diturunkan. Secara umum, pemikiran para filosof muslim (baca : filsafat Islam) merupakan sintesa sistematis antara ajaran-ajaran Islam, Aristotelianisme, dan Neo-Platonisme baik yang berkembang di Athena maupun di Alexandria (Nashr, 1964:411). Sintesa yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk mengharmoniskan hubungan antara filsafat dengan ajaran Islam. Upaya untuk mengharmoniskan hubungan filsafat dengan agama diawali oleh al-Kindî. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowlwdge of truth) dan agama juga diwahyukan untuk menyampaikan kebenaran. Oleh karena filsafat dan agama menjadikan kebenaran sebagai tujuan, maka keduanya tidak mungkin bertentangan antara satu dengan lainnya. Lebih jauh dari itu, al-Kindî juga menyatakan bahwa orang yang menolak filsafat adalah orang yang menolak kebenaran sehingga dapat juga dikategorikan sebagai orang yang mengingkari agama. Dalam pandangan Islam, orang yang menolak agama disebut dengan orang kafir (Ridah, 1950:103-104). Dalam aspek metafisika, pemikiran al-Kindî dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Aristoteles. Sebagaimana halnya dengan Aristoteles, ia juga menjuluki metafisikanya dengan nama filsafat pertama. Dalam salah satu pokok pemikirannya dinyatakan bahwa filsafat yang termulia adalah filsafat pertama yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama yang menjadi sebab bagi segala yang benar. Dalam bahasa al-Kindî, yang dimaksud dengan Yang Benar Pertama adalah al-haqq (Tuhan). Konsep al-haqq yang dikemukakan al-Kindî tersebut merupakan gagasan orisinil aristoteles tentang penggerak pertama yang tidak digerakkan (Atiyeh, 1983:17). Harmonisasi antara filsafat dan agama selanjutnya diteruskan oleh al-Farâbî dan Ibn Sînâ. Lain halnya dengan al-Kindî, kedua filosof tersebut tidak mempergunakan pemikiran Aristoteles sebagai pondasi dalam bangunan filsafatnya. Keduanya cenderung mengikuti aliran Neo-Platonisme yang banyak diminati pada waktu itu. Pemikiran Neo-Platonisme yang mewarnai pemikiran kedua filosof ini adalah mengenai teori emanasi.[i] Teori emanasi yang mereka kemukakan pada dasarnya mencoba menjelaskan proses terjadinya alam materi dari “Yang Maha Satu”. Sebagaimana halnya dalam Neo-Platonisme, mereka juga menyatakan bahwa sumber dari alam materi ini adalah dari pancaran “Yang Maha Satu” (Tuhan). Tuhan sebagai wujud pertama berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran tersebut muncul wujud kedua yang mempunyai substansi yang disebut dengan akal pertama. Wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini muncul wujud ketiga yang disebut akal kedua. Proses ini berlanjut hingga mencapai akal kesepuluh di mana pada tahap tersebut muncullah alam syahâdat (alam materi) sebagaimana yang dapat disaksikan oleh manusia (Nasution, 1995:27-28). Filsafat emanasi yang dikembangkan oleh kedua filosof muslim tersebut memberikan dampak yang cukup luas di kalangan filosof muslim yang muncul kemudian. Sebagai bentuk sintesis terhadap pemikiran ini, sebagian filosof muslim mencoba memperkenalkan wacana teosofi (gabungan filsafat dan tasawuf).[ii]  Wacana teosofi klasik dalam dunia Islam pertama sekali diperkenalkan oleh Abû Yazîd al-Busthâmî. Nuansa filsafat yang mewarnai pemikiran sufistiknya terlihat dari gagasannya mengenai konsep ittihâd(penyatuan). Menurutnya, sufi akan sampai pada penyatuan dengan Tuhan melalui fanâ’ al-nafs (“penghancuran diri”) dan baqâ’ (hidup terus menerus) yaitu kesadaran diri terhadap hilangnya wujud jasmani, namun tetap disadari kekalnya wujud ruhani (al-Taftazânî, 1983:106). Wacana teosofi berikutnya diperkenalkan oleh Husein ibn Manshûr al-Hallâj dengan konsep hulûl-nya. Hulûl adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu lenyap. Munculnya paham ini didasarkan atas pemikiran yang menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ke-Tuhan-an (lahût), dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan (nasût). Dengan demikian, penyatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi dalam bentuk hulûl. Untuk dapat memperoleh penyatuan tersebut, manusia terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiannya dan menghadirkan sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya. Ketika penyatuan terjadi, ruh Tuhan dengan ruh manusia bersatu dalam tubuh manusia (Mahmûd, 1966:69). Kosep hulûl yang diprakarsai oleh al-Hallâj kemudian disistematisasikan oleh Ibn ‘Arabî dengan kosep wahdat al-wujûd (unity of existence). Dalam terminologi Ibn ‘Arabi, nasût diubah menjadi al-khalq (makhluk) dan lahûtmenjadi al-haqq (Tuhan). Pemikiran ini timbul dari paham yang menyatakan bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh karena itu ia menciptakan alam. Di kala Ia ingin melihat diri-Nya, maka ia melihat alam karena tiap-tiap makhluk hidup yang ada di alam terdapat sifat ketuhanan. Dengan demikian, alam merupakan cermin bagi Tuhan. Dalam cermin itu diri-Nya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya hanya satu. Di sinilah muncul paham kesatuan (Ali, 1997:50). Usaha untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya didominasi oleh Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh para filosof lain dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di antara para filosof itu adalah Suhrawardî. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyrâqiyat) yang bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardî memperkenalkan diri sebagai penyatu kembali apa yang disebutnya sebagaihikmat al-ladûnniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat al-’âtiqat(kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles (al-Taftazânî, 1983:195). Sikap kompromistik Suhrawardî terhadap agama-agama lain menimbulkan kritik keras di kalangan pemikir muslim. Bahkan sebagian di antaranya menuduh bahwa Suhrawardî anti Islam. Penilaian semacam ini tentu saja salah kaprah.  Di mata Suhrawardî, agama-agama lain bukanlah musuh yang harus dijauhi atau dilawan, tetapi adalah teman yang harus didekati untuk diajak berdialog. Agama-agama lain itu tidak merusak dan menyimpangkan Islam. Tetapi sebaliknya, agama-agama lain itu dapat memperkaya pemahaman tentang Islam. Di sinilah terletak universalitas Islam karena Islam sangat luas dan mencakup agama-agama lain dalam pengertian ajaran-ajaran esoteriknya.  Kebijaksanaan perenial dalam agama-agama lain adalah kebijaksanaan perenial dalam Islam. Oleh karena itu, Islam dapat melakukan dialog yang sejati dengan agama-agama lain tanpa kehilangan identitas dirinya. Di samping berhasil melakukan dialog dengan berbagai agama, Suhrawardî pun berhasil mengadakan dialog dengan berbagai pemikiran filsafat, khususnya filsafat peripatetik[iii] yang banyak diikuti oleh para filosof muslim. Model dialog yang dirancang Suhrawardî adalah berupa kritik sistemik terhadap sejumlah pemikiran filsafat peripatetik (Nashr, 1968:329). Sejalan dengan proses pemikiran Suhrawardî menuju kematangannya, ia pada mulanya menulis karya-karyanya yang masih bercorak peripatetis yang bertumpu kuat pada metode diskursif. Suhrawardî menegaskan bahwa karya yang bercorak peripatetis mesti dikuasai lebih dahulu sebelum mempelajari teosofinya (Suhrawardî, 1372:10). Dengan instruksi semacam itu, Suhrawardî seakan merentangkan jalan tahap demi tahap bagi pembaca karya-karyanya untuk sampai pada puncak karyanya Hikmat al-Isyrâq (The Wisdom of Illumination). Melihat struktur pemikiran yang tertuang dalam tulisan-tulisannya, Suhrawardî sebenarnya sudah memiliki bangunan pemikiran filosofis yang direncanakan secara matang. Ia menempatkan Hikmat al-Isyrâq sebagai magnum opus-nya karena hampir semua karya sebelumnya ditujukan untuk mendukung substansiHikmat al-Isyrâq. Sehingga peminat Suhrawardî dapat dengan mudah merujuk pada karya-karya sebelumnya bila ingin mengetahui pemikirannya secara mendetail. Artinya, dengan mengkaji Hikmat al-Isyrâq seseorang dapat mengetahui pemikiran menyeluruh mazhab Suhrawardî (Rayyan, 1966:66-67). Secara umum, sistematika Hikmat al-Isyrâq terbagi ke dalam dua bagian utama. Bagian pertama mengulas sejumlah kritik terhadap pemikiran peripatetis terutama terhadap konsep epistemologi. Bagian kedua membahas konsep cahaya dengan berbagai dimensinya. Pada bagian pertama, sejalan dengan arah kritik yang dilancarkan, maka kritik epistemologi berkisar antara logika dan sumber ilmu pengetahuan. Dalam kajian tentang sumber ilmu pengetahuan, Suhrawardî membaginya ke dalam pengetahuan hushûlî dan hudhûrî. Pengetahuan hushûlî terbagi ke dalam dua jenis sarana untuk mencapainya. Pertama diperoleh dengan memaksimalkan fungsi indrawi atau observasi empiris. Melalui indra yang dimiliki, manusia mampu menangkap dan menggambarkan segala objek indrawi sesuai dengan justifikasi indrawi yaitu melihat, mendengar, meraba, mencium dan merasa. Kedua diperoleh melalui sarana daya pikir (observasi rasional), yaitu upaya rasionalisasi segala objek rasio dalam bentuk spritual (ma’qûlat) secara silogisme yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui kepada hal-hal yang belum diketahui (Yazdî, 1994:9). Sedangkan pengetahuan hudhûrî adalah pengetahuan dengan kehadiran (observasi ruhani) yaitu pengetahuan yang bersumber langsung dari pemberi pengetahuan tertinggi berdasarkan mukâsyafat (pengungkapan tabir) dan iluminasi.  Konsep ilmu hudhûrî ini dikembangkan Suhrawardî dengan penekanan pada aspek ketekunan dalam mujâhadatriyâdhat dan ‘ibâdatdaripada memaksimalkan fungsi rasio, dengan kata lain ilmu hudhûrî lebih menekankan olah dzikir dari pada olah pikir (Ziai, 1990: 17). Bagian kedua dari Hikmat al-Isyrâq mengungkapkan pemikiran teosofi Suhrawardî yang memuat konsep metafisikanya.  Pada bagian ini, Suhrawardî menjelaskan konsep teosofi yang berpusat pada kajian cahaya (al-isyrâq)sebagai media simbolik. Suhrawardî mengelaborasi cahaya untuk mengungkapkan kesatuan pemikirannya baik pada tataran epistimologi, teologi, dan ontologi.  Pembahasan utama pada bagian ini meliputi hakikat cahaya, susunan wujud (being), aktivitas cahaya, cahaya dominan, pembagian barzâkh(alam kubur), persoalan alam akhirat, kenabian, dan nasib perjalanan manusia menuju purifikasi jiwa. Dengan konsep al-Isyrâq-nya, Suhrawardî menyatakan bahwa seluruh alam semesta merupakan rentetan dari intensitas cahaya. Gradasi sinar dari sumber cahaya berakhir pada kegelapan. Semua kajian dalam bagian kedua membentuk bangunan teosofi berupa perpaduan antara filsafat dan tasawuf.   Oleh karena itu, Suhrawardî dianggap sebagai pencetus dan pelopor konsep kesatuan iluminasi (wahdat al-‘isyrâq). Hal ini dikarenakan usaha Suhrawardî untuk mengoptimalkan proses iluminasi sebagai ilustrasi holistik dari kesatuan wujud (wahdat al-wujûd) yang dikembangkan Ibn ‘Arabî (Netton, 1994:258). Gagasan mengenai kesatuan iluminasi yang diajarkan oleh Suhrawardî merangsang munculnya sikap protes dan anti pati dari kalangan ahli fiqh (islamic jurisprudence). Karena dianggap sesat dan mendatangkan keresahan dalam masyarakat, para ahli fiqh itu kemudian mengadili Suhrawardî serta menjatuhkan hukuman mati (hukuman gantung) kepadanya. Meskipun dengan berat hati, Suhrawardî menerima keputusan itu demi mempertahankan pemikiran yang diyakininya sebagai kebenaran paling hakiki (Ziai, 1990:22). Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Suhrawardî mengingatkan kita pada perjalanan sejarah pemikiran manusia dimana Socrates juga harus meminum racun demi membela idealismenya. Namun sejarah juga membuktikan bahwa hukuman mati yang dijatuhkan terhadap tokoh yang memperjuangkan kebenaran ternyata tidak efektif untuk menghentikan alur pemikiran mereka. Karir intelektual Suhrawardî boleh saja dihentikan, tetapi warisan yang ditinggalkan tetap hidup bahkan mampu mempengaruhi generasi-generasi sesudahnya. Pengaruh teosofi Suhrawardî dapat ditelusuri melalui karya-karya yang muncul belakangan atau aliran-aliran pemikiran yang terpengaruh olehnya. Uraian yang dipaparkan di atas menunjukkan beberapa kelebihan Suhrawardî dibandingkan dengan para filosof teosofi muslim lainnya. Harmonisasi filsafat lintas agama dan lintas aliran pemikiran yang dipeloporinya menunjukkan sikap objektif dan bebas nilai yang patut dicontoh oleh setiap pemikir. Meskipun sarat dengan kritikan dan hujatan, pemikiran Suhrawardî tetap perlu untuk dikontekstualisasikan terutama untuk menyejukkan suasana keberagamaan manusia di alam modern saat ini. Di samping itu, rekonstruksi terhadap pemikiran Suhrawardî dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperkuat bangunan pemikiran metafisika filsafat Barat yang dinilai sedang mengalami krisis spritualitas.
  2. Aliran Hikmah Muta’aliyyahaliran filsafat hikmah muta’aliyyah ( filsafat/teosofi transenden), diwakili oleh seorang filosof syi’ah abad ke tujuh belas, dia adalah Mulla Shadra. Mulla Shadra, adalah seorang filosof yang berhasil mengsintesiskan paripatetik, iluminasi, dan irfan. Sesungguhnya bisa juga kita masukan Mulla shadra ini ke dalam kelompok madzhab Isfahani, yang dipimpin oleh Mir Damad (w. 16310), dengan anggota-anggotanya antara lain Husain bin ‘abd al-shamad al-‘Amili, dan Mir Fandiriski. Tetapi karna filsafat Mulla Shadra jauh melampaui para filosof isfahani, termasuk gurunya Mir Damad, maka sejarawan filsafat islam, lebih suka mengkategorikan Mulla shdra dalam aliran tersendiri yang kita sebut Hikmah Muta’aliyyah.

Dari sudut epistimologis, aliran Hikmah tidak terlalu jauh berbeda dari aliran iluminasionis. Seperti aliran iluminasionis, filsafat Hikmah juga percaya bukan hanya pada akal diskursif, tetapi juga pada pengalaman misti. Filsafat Isyraqi didasarkan pada pengalaman mistik, baru kemudian disampaikan dalam bahasa filosofis-diskursif. Namun lebih dari itu, filsafat Hikmah, seperti dikatakan Dr. Haidar Bagir, dalam bukunya buku saku filsafat islam, menekankan bahwa pengalaman mistik bukan hanya “mungkin” untuk diungkapkan secara diskursif-logis, melainkan “harus” diungkapkan seperti itu untuk kepentingan verifikasi publik.

Selain itu Mulla Shadra juga seperti para sufi, membicarakan kesatuan antara akal dan maq’bul. Dalam bukunya yang terkenal philosophy of Mulla Shadra, Fazlur Rahman menjelaskan argumen shadra-dalam soal kesatuan (identitas) antara akal dan maq’bul- sebagai berikut “sesuatu yang betul-betul bisa dipikirkan haruslah yang berfikir-sendiri dan sekaligus yang difikirkan, karna “yang difikirkan “ tidak mungkin secara rasional ada, tanpa “yang berfikir”. Tidak mungkin ada yang difikirkan kalau tidak ada yang berfikir. Maka ma’qul tidak akan jadi yang difikirkan jika dia dilepas hubunganya dari yang berfikir, atau kalau yang terakhir dipandang sama sekali lain daripada dirinya. Karna itu maka yang difikir haruslah sama dengan sesuatu yang bisa berfikir, yang pada giliranya harus juga sama dengan yang berfiki. Mudahnya, karna yang berfikir tidak lain daripada yang berfikir sendiri, maka terjadilah kesatuan antara yang berfikir dengan sasaran fikiranya itu, yang tidak lain daripada dirinya sendiri.

Marilah kita beralih pada aspek ontologis dari aliran ini (hikmah muta’aliyyah) atas pengaruh Ibn ‘Arabi, Mulla Shadra juga menciptakan ajaran wahdat al-wujud, tetapi dengan perbedaan yang cukup signifikan. Namun sebelum kita membahas tentang konsep kesatuan wujudnya, marilah kita bicarakan terlebih dahulu tentang keutamaan wujud, atau apa yang disebut ishalat al-wujud. Berbeda dengan Suhrawardi yang mengatakan bahwa yang utama adalah esensi (mahiyyah), Mulla Shadra mengatakan bahwa yang real yang utama adalah wujud (eksistensi). Wujudlah yang real, sedangkan esensi (mahiyyah) hanya ada dalam fikiran manusia saja, tidak betul-betul ada diluar fikiran, yakni pada benda-benda eksternal.

Atas keritikan Suhrawardi bahwa apa yang kita fahami sebagai eksistensi, adalah esensi, Mulla Shadra mengatakan, “betul bahwa apa yang kita fahami tentang wujud itu memang adalah esensi. Tetapi yang kami maksud disini adalah wujud sejati, dan bukan hanya konsep atau pemahaman kita tentang wujud. Karna kalau itu yang dimaksud, maka ia adalah esensi, yang hanya ada dalam pikiran saja (adzhan) bukan realitas sejati (a’yan). Wujud sejati, dengan begitu, bukan esensi ataupun pemahaman tentang wujud, tetapi wujud itu sendiri.

Adapun wujud seperti itu tidak perlu dibuktikan, karna ia akan terbukti dengan sendirinya, karna sebelum kita mengatakan bahwa sesuatu itu (apa saja) ada, maka tentu kita harus mengetahui dan menyakini secara intuitif bahwa ada itu sendiri-ada sebagai ada, yang tidak merujuk pada apa pun kecuali dirinya saja- adalah ada. Karna kita tidak mungkin mengatakan sesuatu itu ada kalau “ada” itu sendiri kita tolak, seperti tidak mungkin kita mengatakan bahwa pensil itu biru, kalau biru itu sendiri tidak ada. Dengan demikian jelaslah bahwa wujud sejati (wujud qua wujud) adalah ada tanpa pembuktian lagi, bahkan menjadi syarat bagi keberadaan yang lain-lain.

Marilah kita beralih pada konsep sadrian tentang kesatuan wujud (wahdat al-wujud). Wujud bagi shadra hanyalah satu saja. Apakah merujuk pada Tuhan ataukah pada batu kerikil, wujud hanyalah satu adapun yang membedakan antara wujud yang satu dengan wujud yang lainya bukanlah kewujudan mereka, tetapi karna perbedaan esensi-esensi mereka.

Konsep keesaan wujud ini, menurut saya, mirip sekali dengan, atau barangkali diadopsi dari konsep cahaya Suhrawardi. Sebagaimana telah disinggung cahaya menurut Suhrawardi pada hakikatnya hanyalah satu. Perbedaan cahaya yang ada tidaklah karna perbedaan kecahayaanya, tetapi karna perbedaan intensitasnya. Seperti Suhrawardi, Mulla Shadra juga percaya bahwa wujud –sebagai ganti cahaya- hanyalah satu saja, sedangkan yang membedakan wujud-wujud yang beraneka ini bukanlah kewujudanya, tetapi “gradasi” mereka yang berbeda-beda. Jadi wujud Tuhan dan wujud batu kerikil, tidaklah berbeda dari sudut kewujudanya, tetapi berbeda dalam derajat atau gradasinya. Dan sementara Suhrawardi menjelaskan perbedaan intensitas cahaya karna hadirnya barzakh-barzakh yang menyekat diantara cahaya-cahaya, maka Mulla Shadra mengatakan gradasi wujud –atau terkenal dengan istilah tasykik al-wujudal terjadi karna perbedaan esensi (mahiyyah) yang dimiliki oleh tiap-tiap entitas yang ada dialam semesta ini.

Tasykik al-wujud adalah salah satu ajaran Mulla Shadra yang penting disamping wahdat al-wujud. Tasykik al-wujud diartikan oleh Fazrul Rahman sebagai “ambiguitas sistematik” wujud. Menurutnya, wujud disebut “ambiguitas sistematik” karna disamping menjadi prinsip keesaan, ia juga bertindak sebagai prinsip kebhinekaan. Oleh karna itu, ketika wujud disebut satu, tapi pada waktu yang bersamaan ia juga banyak dan beraneka.

Terakhir yang perlu didiskusikan adalah ajaran Mulla Shadra yang berkaitan dengan alam yang disebut “perubahan trans-substansial” (al-harakah al-jauhariyah). Teori ini merupakan penemuan Mulla Shadra yang paling orisinil, karna belum pernah pernah dikemukakan sebelumnya oleh filosof manapun, baik Yunani (Aristoteles) maupun Muslim (misalnya Ibn Sina). Menurut ajaran ini perubahan bisa terjadi bukan hanya pada tingkat aksidental, tetapi juga substansial. Padahal selama ini substansi difahami sebagai sesuatu yang “fixed” sehingga tidak mungkin berubah menjadi yang lain. Tetapi menurut Mulla Shadra, seperti juga Suhrawardi, substansi tidak begitu fixed dan ia dapat berubah secara signifikan. Berbeda dengan para pendahulu filosofisnya, Mulla Shadra bahkan mengatakan bahwa perubahan pada level aksidental hanya bisa terjadi apabila ada perubahan pada substansi.

Dengan konsep “trans-substansial movement” ini tidak sulit untuk mengatakan bahwa Mulla Shadra adalah seorang filosof proses,seperti halnya whitehead di barat. Demikian juga tidak sulit untuk melihat adanya idea/teori evolusi pada ajaran filosofis Mulla Shadra. Bahkan lebih dari teori evolusi darwin, Mulla shadra –seperti halnya Rumi- menjelaskan terjadinya evolusi pada tataran yang lebih luas. Karna, bukan saja, menurutnya, evolusi terjadi pada tataran biologis, seperti pada teori evolusi Darwin, tetapi juga pada tataran kosmik, geologis, biologis, dan bahkan imajinal dan spiritual.

Beberapa ahli filsafat menganggap (seperti bapak Mulyadi) kemungkinan adanya  pengaruh ajaran tasawwuf Rumi atas Mulla Shadra, karna baik Rumi maupun Mulla Shadra percaya bahwa alam ini berkembang secara kreatif, dan secara gradual mengalami perubahan substansial dari tingkat yang lebih rendah, seperti mineral, kepada tumbuhan, hewan, dan manusia. Hanya saja Rumi menjelaskan bahwa terjadinya evolusi alam semesta ini adalah karna cinta alam kepada Tuhan, sementara Mulla Shadra mengatakan bahwa perubahan substansial terjadi karna bentuk-bentuk material memang selalu berubah-ubah, bukan karna cinta seperti yang disinyalir oleh Rumi.

 

 

 

 

SistematikaFilsafat

 

  1. Ontologi/ cabangilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat keberadaan yang entitas, ontologi membagi  beberapa kawasan yang berhubungkan dengannya, antara lain:

 

  1. Metafisika, yang menjelaskan akan pengetahuan tentang suatu hal yang bersifat tak  nampak atau non-fisik; sebagaimana yang kita tahu bahwa: tuhan, malaikat, dan semua hal yang tidak terindra dimasukan kepada bagian metafisika, dan jiwa pun ada dilingkaran ini.

 

Semua yang terindrawikan maka ia adalah sesuatu yang dapat kita petakan/ katakan, didefinisikan atau dapat dijelaskan, bahkan digambarkan secara rasional empiris dan mungkin dengan skala apriori. Karena semua hal yang terindra adalah hal yang  tidak lagi bisa dinafikan oleh akal sebab telah terbukti akan kehadiran sebagai benda yang nyata tertata/ terbentuk.

 

Dalam bukunya yang berjudul“kritik atas rasio murni”, Kant mendiskusikan akan keabsahan metafisika. Namun Kant mengalami ambiguitas yang ia katakana bahwa, metafisika secara pengalaman adalah hal yang mungkin bisa ter-realisasi, akan tetapi lain halnya dengan metafisika transenden.

 

Al-Farabi mengungkapkan bahwa metafisika menjadi kebutuhan yang syarat untuk menjadi sokongan bagi manusia dalam mempertanyakan kenyataannya. Yang lebih spesifik Al-Farabi juga menegaskan dengan al-maujud al-awwal sebagai sebab pertama dari segala yang ada,dan dibaginya menjadi: wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. Wajib al-wujud adalah ke-ada-an Allah itu tak bisa didua, dan tak bisa di ganggu darisesuatu yang ada pada makhluk yang Ia hadirkan/ ciptakan. Sedangkan mumkin al-wujud adalah keadaan yang dimungkinkan pada Allah atau tuhan sepertimana ke-ada-an-Nya sebagai mana makhluk yang lainnya dan penggambaran akan-Nya menjadi mustahil karena Ia adalah Ia, yang lain pun adalah Ia tetapi Ia bukan dari yang lain-lainnya.

 

  1. Teologi, untuk mengetahui latar belakang tuhan dari bagian dzat, sifat, hingga pencapaian wujudnya; dengan agama yang menjadi dasar kepercayaan yang kita akui, maupun berdasarkan kitab-kitab yang kita anggap sakral.

Iqbal dalam pencariannya akan tuhan menurut tahapannya; tahap pertama, ia merujuk kepada Plotinus yang mengembangkan pikiran Plato, bahwasanya tuhan adalah keindahan yang abadi. Tahap kedua, dengankondisi yang tumbuh dengan pencapaian cinta abadi, hasrat, dan upaya atau gerak karena keindaahan yang telah ia dapatkan, dengan sengaja ia gamrbakan dalam karyanya yang berjudul haqiqat-i-husna (hakikatkeindahan). Disini Iqbal meminta bimbingan dari seorang Rumi untuk membimbing rohaninya. Dan di tahap ini pula ia akui tuhan menjadi asas rohaniah tertinggi (the ultimate spiritual basis of all life). Ego adalah harapan yang ia inginkan, bahwa semakin ego meningkat makapangkat khalifah fi al-ardh menjadi cakupannya, dengan cara menarik tuhan kedalam pribadinya.

Tahap ketiga,ditahap ini Iqbal mengembangkan tentang hakikat ketuhanan, katanya “tuhan adalah hakikat sebagai suatu keseluruhan” dari Dialah ego-ego bermula karena Ia adalah sumber dari segala kehidupan yang menunjang kehidupan makhluknya. Jika harus merujuk pad aulama di Indonesia kita mengenal buku Quraisy Shihab yang berjudul “Tuhan ada dimana-mana” dan tema ini adalah sama halnya dengan apa yang telah dipaparkan Iqbal diatas tadi.

  1. Psikologi, ilmu ini dikaitkan erat dengan mental, baik normal atau abnormal dan pengaruhnya terhadap prilaku atau tingkah-lakumanusia; atau bisa juga dikatakan sebagai ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa.

 

Kegiatan jiwa dalam raga dan keberadaannya; menurut Suhrawardi dengan argumen yang sama dengan apa yang dilontarkan Ibnu Sina bahwa jiwa individual tidak dapat dipandang sudah ada sebelum keberadaan fisiknya, seperti banyak unit sinar. Hubungan antara jiwa dan raga menurut Suhrawardi bukanlah hubungan sebab-akibat, melainkan ikatan kesatuan yang direkatkan dengan cinta.

 

“Ubahlah sikapmu terhadap alam semesta, dan gunakan garis prilaku yang diniscayakan oleh perubahan itu”, -Suhrawardi-. Secara singkat, sarana-sarana pewujud ini adalah:

  1. Pengetahuan
  2. Tindakan yang akan melahirkan:
    1. Akal atau jiwa kemalaikatan, yaitu sumber intelegensi, pembedaan, dan cinta pengetahuan.
    2. Jiwa binatang buas yang merupakan sumber amarah, keberanian, dominasi, dan ambisi.
    3. Jiwa hewani yang merupakan sumber nafsu, lapar, dan nafsu seksual.

Dengan mengendalikan semua yang telah disebutkan diatas maka akan terjadi sebuah keadilan yang beraturan. Maka, dengan penggabungan tersebut (pengetahuan dan kebajikan), jiwa membebaskan dirinya dari dunia gelap. Bila makin banyak yang kita ketahui tentang hakikat segala maujud, semakin dekat pula kita kepada dunia cahaya; dan cinta pada dunia itu menjadi semakin mendalam. Taraf penjagaan spiritual tidak terhingga, karena semakin mendalam. Namun taraf dasarnya sebagai berikut:

  1. Taraf “aku”. Pada taraf ini ego personal sangat mendominasi, dan sumber tindakan manusia pada umumnya bersifat mementingkan diri sendiri.
  2. Taraf “engkau tidak ada”. Penyerapan sempurna dirinya sendiri yang dalam sehingga melupakan segala yang ada di luar dirinya.
  3. Taraf “aku tidak ada”. Taraf ini mesti hasil dari yang kedua.
  4. Taraf “engkau ada”. Peniadaan mutlak “aku”, dan pengukuhan “engkau”, yang berarti kepasrahan diri sepenuhnya kepada kehendak tuhan.

 

  1. Kosmologi, ilmu yang berkenaan dengan alam semesta sebagai sistem yang  teratur.

 

Suhrawardi mengelompokan alam kepada empat tingkatan, yaitu:

  1. Alam akal-akal (‘alam al-‘uqul). Dalam lingkungan alam akal ini berisi cahaya-cahaya dominator yang jumlahnya tergantung dari intensitas pancaran dari cahaya pertama. Termasuk dalam alam akal ini adalah ruh qudus yang darinya jiwa-jiwa kita berasal, dan rabb Thilsam. Filsuf paripatetis menyebut alam ini sebagai alam fa’al. Dalam terminologi lain Suhrawardi menyebutnya Arbab al-anwa’.
  2. Alam jiwa-jiwa (‘alam an-nufus). Di dalamnya terdapat jiwa-jiwa pengatur planet-planet, langit, dan tubuh manusia. Dalam hal ini, Suhrawardi berbeda dengan parepatetis yang mengatakan bahwa jiwa-jiwa planet muncul secara langsung dari akal-akal yang tinggi, sementara Suhrawardi berpendapat bahwa jiwa-jiwa planet muncul dari arbab al-anwa’ al-samawi, yang berasal dari hirarki cahaya atau akal-akal horizontal.
  3. Alam bentuk (‘alam al-ajsam). Menurut Suhrawardi ada dua macam alam bentuk: pertama, alam bentuk unsur yang berada di bawah planet bulan, kedua, alam bentuk zat yang sangat luas; yaitu bentuk-bentuk planet langit.
  4. Alam mitsal, suatu alam kelepasan jiwa menuju kesempurnaan.

Ketiga alam pertama mendapat perbincangan hangat dari kalangan filsuf, namun untuk yang ke-empat, alam ini merupakan inovasi baru yang ditemui Suhrawardi mujahadah dan musyahadah secara berkelanjutan.

 

Cahaya pertama adalah cahaya yang abadi tak mungkin terkikis oleh apapun karena ia bukan makhluk. Maka beda halnya dengan alam semesta ini yang terdiri dari tiga unsur dasar, yaitu, air, angin, dan tanah. Dalam kelanjutannya bahwa api terdiri dari angin yang menyala atau mungkin gesekan antar udara itu sendiri, dan begitu seterusnya bahwa semua yang bersifat material baik abstrak atau kongkrit tak urung dari tiga unsur tersebut.

 

  1. Epistimologi/ yang menjelaskanakandasar-dasar dan batas pengetahuan.

 

Epistimologi dinyatakan dalam sebuah buku bahwa, adalah ilmu yang membahas tetang jenis-jenis pengetahuan manusia dan menentukan tolok ukur benar dan salah dalam pengetahuan.

 

Ilmu ini berspora menjadi beberapa bagian, pertama, ilmu hudhuri dan ilmu hushuli; ilmu hudhuri yaitu ilmu yang menegaskan bahwa manusia tidak melakukan beraksi untuk mengetahui dan dengan sendirinya atau secara spontan ia akan mengetahui apa yang belum ia ketahui, maka dari itu ilmu ini menegaskan akan kehadiran subjek yang kasat mata atau tak dapat anda rasakan secara indrawi. Contoh, ketika kita mengetahui sesuatu –rasa; cinta, ragu, takut, dsb.- bukan berarti sesuatu tersebut datang karena keberadaan otak yang kita punya, namun ada penyebab lain yang sebelumnya telah mengetahui hal tersebut.

 

Ilmu hushuli, bila yang pertama tak menggunakan proses karena telah menjadi kesatuan dalam diri, maka ilmu ini memerlukan proses atau perantara dalam mencerna semua yang dapat dimengerti diri, manusia mengenali jembatan ini sebagai panca indra.

 

Ketiga, ilmu konsepsi (tashawwur) dan afirmasi/ penilaian (tashdiq); pertamakali dikemukakan oleh filosof islam Abu Nasr Al-Farabi (260-339h.), tashawwur adalah konsepsi sederhana tentang realitas sesuatu. Konsepsi ini menerjemahkan benda yang kita kenal seperti mengkonsep pohon, setelah kita tahu bahwa dari pohon kita akan mengenal daun, akar tangkai dsb, maka dengan secara tidak sengaja kita pun sudah mengafirmasikan bahwa pohon itu berdaun, berakar, bertangkai dsb. Jelaslah bahwa afirmasi tak akan hadir sebelum adanya konsepsi terlebih dahulu.

 

  1. Aksiologi/  yaitu kajian tentang nilai, khususnya dalam etika dan estetika prilaku manusia; yang di kelompokan sebagai berikut:

 

  1. Etika; dalam bahasa lain diungkapkan bahwa ia adalah akhlaq, yang menuntut manusia agar tidak seperti makhluk lainnya, seperti: hewan, tunbuhan, batu, planet dsb, walaupun demikian bahwasanya manusia juga dianggap sebagai“hewan” akan tetapi ia “berakal”.

 

Terkadang etika menjadi kambing hitam yang mana tingkah lakunya menjadi problema yang mengkhwatirkan bagi halayak ramai. Tak ubahnya seperti sampah yang tak perlu lagi di daur ulang, dibiarkan sampai ia terurai didalam tanah. Akan tetapi ternyata etika adalah tukang kebun yang suka menjaga akan keindahan bunga-bunga dari rerumputan yang tak semestinya bertempat disebelahnya, yang menelanjangi bunga perlahan bahkan mungkin mengusir dan mengusik ketentraman tumbuhnya bunga tersebut.

 

Lalu, bagaimana denga moral, apakah ada perbedaan yang spesifik bila kita bandingkan dengan etika?, yang katanya menjadi bualan masyarakat karena ulahnya yang kritis dalam menunjukan sebuah kebiasaan yang etis. Moral yang paling antusias akan anda rasakan saat anda berada ditempat yang teramat kental dengan adat istiadat yang menurutnya sudah tertanam semenjak nenek moyangnya tinggal, dengan pernyataan ini maka tentu atau pastinya tak seorangpun yang akan menafikan aturan yang sudah paten dan bahkan tertanam begitu saja dalam dirinya, mengalir sebagaimana darahnya dan tak bisa di hilangkan begitu saja.

 

Dengan demikian perbedaan etika dan moral adalah menurut Lorenz bahwa moral adalah naluri yang tertanam dalam hewan yang lemah akan mengendalikan nafsunya sehingga perlu pemberhentian yang lain. Moral yang telah terbatinkan merupakan mekanisme kompensasi yang menyesuaikan perbendaharaan naluri dengan tuntutan hidup kebudayaan. Sedangkan etika adalah keheranan yang kritis dalam menentukan manakah hal baik dan mana hal yang buruk dalam norma-norma yang terkandung disekujur badan moral.

 

  1. Estetika; kata lain dari ke-indah-an, yang menelaah dan membahas tentang seni dan ciptaan (internal dan eksternal), serta tanggapan manusia terhadapnya.

 

Estetika ini memerlukan daya indra untuk mendapatkannya, bagaimana dengan rasa? –bangga, bahagia, cinta, rindu, dsb-. Estetika atau keindahan yang tertangkap biasanya hanya pada benda nampak yang membuat kita akan merasa bahagia karena hadirnya, penilaian dari Walter G. Everet ke-estetika-an muncul dari alam dan seni yang tercipta. bagaimana dengan rasa-rasa, apakah hal itu harus terjadi dengan perantara dan tanpa adanya konsepsi terlebih dahulu?

 

Padahal dari epistimologi yang telah dibahas bahwa afirmasi tidak akan muncul sebelum konsepsi; dalam hal ini saya beranggapan bahwa estetika memiliki proses dengan kata lain ia menjadi hushuli karena berangkat dari suatu yang hadir di ruang eksternal estetika ini melibatkan materi apakah itu warna, senja, cahaya, pelangi, dsb. Dan anggapan yang selanjutnya bahwa estetika juga muncul tidak denga proses atau secara hudhuri yang merefleksikan akan hadirnya keindahan yang berada jauh didalam alam mental yang memunculkan kebahagian, cinta, bangga, dsb.

 

Menurut Prof. Bremeled estetika adalah hasil dari ekspresi etika, adapun pendapat Notonagor mengemukakan bahwa estetika bersumber dari perasaan manusia atau biasa kita sebut sebagai intuisi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan. Lentera hati

Prof. Mohsen Gharawiyan, Pengantar memahami buku daras filsafat islam. Shadra Press.

Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005

Leaman, Oliver, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis. Bandung: Mizan, 2001

Gharawiyan, Mohsen, Pengantar Memahami Buku Daras: Filsafat Islam. Jakarta: Sadra Press, 2012

Suseno, Franz Magnis, Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010

sumber: makalah Amar n Imad (STFI Sadra Jakarta)

 

 

 

 

 

Tentang Rhaflizh

Armawan Ar-Rhaflizh lahir di Bengkulu
Pos ini dipublikasikan di Filsafat. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar