Filsafat: Rasionalisme, Empirisme, Kritisme (Kant), Positivisme, Pragmatisme, Burhani dan Irfani

Sejarah kemunculan aliran-aliran filsafat

Setelah hampir sepuluh abad Eropa diselimuti kabut teologis yang memanipulasi kebenaran dan mematika pemikiran bebas, suatu gerakan kultural muncul di Italia dan pengaruhnya dengan cepat menggelobal. Gerakan kultural tersebut dikenal dengan renaissans. Renaissans tersebut berarti kelahiran kembali, suatu gairah baru menggali kembali khazanah intelektual Yunani kuno yang mengedepankan rasionalitas dan kebebasab berpikir.

Pada masa ini, rasionalisme lahir kembali, sebgai objek kajian yang harus dan menarik untuk diamati. Sejak kezaliman intelektual dilakukan oleh gereja dan tidak sedikit pula filosof dikekang kebebasan berpikirnya, zaman ini memberi pintu terbuka secara lebar-lebarnya kepada semua orang, bukan hanya kepada para filosof, tetapi semua orang yang mau mencurahkan pandangan dan pendapatnya atau kepada siapa pun yang mau berfilsafat.

Dengan keadaan yang seperti ini, maka semua pemikiran yang selama ini terkekang menjadi bebas dan berkembang serta menggelobal secara pesat.

Masa kegelapan ini terjadi sekitar dari tahun 400 – 1500 yang selama kurun waktu yang lama itu filsafat skolastiklah yang sangat mendominasi pasa masa itu. Filsafat skolastik adalah filsafat gereja yang sangat tekstual dan para filosof ini tidak menerima sebuah pandangan yang berlawanan dengan kitab suci. Sehingga filsafat pada masa itu sangatlah lamban karena dominannya filsafat skolastik yang sangat tekstual.

Rasionalisme Yunani Kuno lahir kembali

Sebenarnya sejarah rasionalisme  itu sudah sangat tua sekali. Thales ( 624 – 546 M ) telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Lalu dengan sangat nyata dilanjutkan oleh kaum sofis dan para penentangnya ( Seocrates, Plato dan Aristoteles ).

Rasionalisme secara tegas mengusungkan dirinya pada abad ke-17. Sedangkan pada abad ke-18 rasionalisme cenderung pada titik yang ekstrim. Kecenderungan rasionalisme pada abad ke-18 yaitu memperlawankan antara otoritas akal budi manusia dengan pertimbangan perasaan, takhayul dan iman.

Rasionalisme muncul ketika filsafat skolastik mempunyai peran yang otoritas atas pemikiran yang berlangsung lama dari tahun 400 – 1500 M sekitar seribu tahun. Dan yang menjadi tokoh utama dari rasionalisme modern/bapak filsafat modern ini yaitu Rene Descartes.

Pada saat itu descartes dan para filosof skolastik memiliki satu pandangan mengenai dasar filsafat. Descartes ingin meyakinkan para filosof skolastik bahwa yang menjadi dasar filsafat adlah akal, sedangkan mereka bersikukuh pada pandangan bahwa yang menjadi dasar filsafat itu adalah iman.

Descartes mengetahui bahwa untuk meyakinkan mereka itu sangat sulit dan oleh karena itu descartes berusaha meyakinkan mereka bahwa yang menjadi dasar filsafat adalah akal lalu dia menyusun argumentasi yang amat terkenal. Dan argumantasi itu teruang di dalam metode  cogito.

Pengertian rasionalisme

Rasio dalam bahasa inggris “reason”; dan dalam bahasa latin “ratio” yang berarti berhubungan dengan pemikiran. Dalam bahasa Yunani terdapa 3 istilah yang secara garis besarnya mempunyai arti yang sama, yakni: Phronesis, Nous, dan Logos. Secara umunm rasio dimengerti sebagai kemampuan untuk melakukan; abtraksi, memahami, menghubungkan, merefleksikan, memperhatikan kesamaan-kesamaan, dan perbedaan-perbedaan dan sebagainya.

Bila dipirkan sebagai kemampuan, rasio berbeda dengan kemampuan; kehendak, kemampaun cita rasa, kemampuan perasaan, kemampuan intuisi dan sebagainya. Rasio juga dibedakan dengan iman, intuisi, emosi dan perasaan, pencerapan, persepsi pengalaman[1].

Paham rasionalisme menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian ilmu pengetahuan dan pengetahuan dapat diperoleh dan diukur akal[2] melalui kegiatan. Serta menurut paham ini pula bahwasanya manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.

Rasionalisme ada dua macam; yaitu raionalisme dalam filsafat dan rasionalisme dalam agama. Rasionalisme dalam filsafat yaitu lawan dari empiris dan sering berguna dalam teori pengetahuan. Sedangkan dalam agama, rasionalisme sebagai lawan otoritas dan biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama.

 

Tokoh-tokoh rasionalisme

Rene Descartes dan cogito-nya ( 1596 – 1650 M )

Rene Descartes merupakan filosof Prancis yang digelari “Bapak Filsafat modern”. Beliau adalah peletak dasar aliran rasionalisme. Zaman modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai oleh filsafat Descartes. Kata “modern” menunjukkan filsafat yang memiliki corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat pada abad pertengahan Kriten. Corak utamanya yaitu dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa Yunani Kuno.

 

Bukunya yang terpenting di dalam filsafat murni ialah Discours de la Methode ( 1637 ) dan Meditation ( 1642 ). Kedua buku ini saling melengkapi satu sama lainnya. Di dalam kedua buku inilah dia menuangkan metodenya yang terkenal ( Metode keraguan Descartes  ). Metode ini juga sering disebut Cogito Descartes atau hanya Cogito

Untuk menemukan basis yang kaut bagi filsafat. Decartes meragukan semua yang dapat dirgukan. Lalu dia meragukan semua yang dapat diindera yang sebenarnya itu ada. Dan ini merupkan langkah pertama dari metodenya cogito. Kemudian dia mergukan dirinya sendiri ( jasadnya ), yang mungkin saja itu terjadi, karena katika kita dalam keadaan mimpi, halusinasi, ilusi dan juga pengalaman dengan roh ghaib yang sebenarnya tidak jelas ( not distinct ).

Pada keadaan yang empat itu, bisa saja seseorang mengalami keadaan yang seolah-olah nyata dan seakan bukan mimpi ( terjaga ). Karena ketika kita mengalami salah satu dari yang emapat itu, tidak ada batas yang jelas antara mimpi dan jaga. Oleh karena itu dia berkata; “aku meragukan bahwa aku sedang berdiri disini didepan teman-teman dengan pakaian yang rapi, ya aku meragukannya karena kadang-kadang aku bermimpi persis sama seperti ini, padahal aku sedang tidur”.

Dalam keadaan seperti itu, kita tidak dapat membedakan secara jelas antara mimpi dan terjaga; demikian menurut Descartes. Semua benda yang ada dalam ke-empat keadaan itu membawa kita pada pertanyaan: Yang manakah yang asli? Benda-benda dalam mimpi, halusinasi, ilusi dan kejadian dengan roh halus itu, bila dilihat dari posisi kita sedang jaga, itu tidak ada.

Langkah pertama Descartes berhasil meragukan semua yang dapat diindera. Lalu apa yang dapat saya percayai dan yang sungguh-sungguh ada? Menurutnya ada sesuatu yang selalu muncul dari keadaan yang empat itu. Yang selalu muncul itu ialah gerak, jumlah dan besaran ( volume ).

  Betulkah yang tiga ini dapat diyakini sungguh-sunguh ada? Lalu Descartes mengujinya dan meragukannya. Yang tiga macam itu (gerak, jumlah dan besaran) adalah matematika. Kata Descartes, matematika dapat salah. Saya sering salah menjumlah ( angka ), salah mengukur ( besaran ), juga demikian pada gerak. Jadi, ilmu pasti pun dapat saya ragukan. Ilmu pasti lebih pasi daripada benda, tetapi saya masih dapat meragukannya. Jadi, benda dan ilmu pasti pasti diragukan. Kalau bergitu, apa yang sebenarnya passti itu, yang dapat kujadikan dasar filsafatku? Aku ingin yang pasti, yang distinct. Sampailah ia sekarang pada metode ketiga dalam metode cogito.

            Masih ada sesuatu yang tidak dapat diragukan, demikian katanya, setan yang licik sekalipu atau pun seorang sketis sekali pun mampu menolaknya, yaitu aku sedang rag. Jelas sekali, saya sedang ragu. Tidak dapat diragukan bahwa saya sedang ragu. Begitu distinct saya sedang ragu. Boleh saja saya meragukan akan badan saya ini, tetapi mengenai “saya sedang ragu” benar-benar tidak dapat diragukannya lagi.

Aku yang sedang ragu itu disebabkan oleh aku berpikir. Kalau begitu, aku berpikir pasti ada dan benar. Jika aku berpikir ada, berarti aku ada sebab yang berpikir itu aku. Cogito ergo sum, aku berpikir, jadi aku ada. Tahapan metode Descartes itu dapat diringkas sebagai berikut:

Metode karaguannya itu bukanlah tujuan yang dia cari, melainkan itu merupakan loncatannya untuk mencari yang memang pasti ada yang clear and distinct ( jelas dan pasti ).   Descartes merupakan tokoh dari raionalisme dan juga disusul oleh filosos-filosof lainnya seperti De Spinoza ( 1632 – 1677 M ), Gottfried Eilhem von Leibniz ( 1646 – 1716 M ) dan sebagainya yang tidak dapat kami sebutkan dan secara rinci pada makalah kami ini.

Baruch De Spinoza ( 1632 – 1677 M )

                        Spinoza memiliki nama asli yaitu Baruch De spinoza lalu dia mengganti namanya menjadi Benedictus De Spinoza, pergantian nama ini sebagai tanda kehidupan barunya yang sangat memprihatinkan. Dia hidup dalam keadaan terkucilkan dan hanya memiliki pekerjaan dan dari pekerjaannya itu dia mendapatkan nafkah dengan mengasah lensa-lensa. Bersamaan dengan itu dia terus menulis pikiran-pikirannya. Dan pernah ada undangan baginya pada tahun 1673 dari universitas Heildelberg untuk mengajar di universitas tersebut, akan tetapi dia menolaknya demi kemandirian pikirannya.

Dia mengalami keadaan seperti itu karena dia berpendapat bahwasanya malaikat itu hanya fiksi/imajinasi belaka dan bahwa Allah itu bersifat material. Dengan pendapat-pendapatnya ini dia dikucilkan oleh pihak gereja karena pemikirannya itu dianggap menyeleweng dari apa yang tertera dalam kitab suci injil.

Spinoza berbeda sekali dengan descartes, kalau descartes tidak mengenyam akan pendidikan agama, sedangkan spinoza mengenyam pendidikan agama lalu dia keluar dari apa yang telah diajarkan oleh para pendeta.

 

Pemikiran Spinoza (substansi yang tak terhingga/Tuhan)

Kalau dalam pengertian descartes itu cogito, sedangkan dalam pemikirannya spinoza itu konsep substansi. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara descartes dengan spinoza, hanya yang berbeda dalam pemakaian kata yang dipakai.

Substansi menurutnya adalah sesuatu yang ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri. Dengan pengertian bahwasanya substansi itu sesuatu kenyataan yang mandiri tapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain.dalam pandangannya bahwasanya Tuhan itu adalah substansi yang mandiri tidak terikat oleh apa pun, tidak seperti manusia yang terikat oleh ruang dan waktu, dan Tuhan itu terisolasi dengan yang lain dalam arti bahwasanya Tuhan ini tidak berhubungan dengan sesuatu yang selain dirinya.

Substansi tidak berelasi dengan sesuatu yang lain, dan tidak dihasilkan atau tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain (causi sui: penyebab dirinya sendiri). Spinoza menolak akan apa yang diungkapkan oleh descates mengenai 3 substansi bawaan[3], spinoza berpendapat bahwasanya ada saru monad dan hanya ada satu substansi, dan substansi itu adalah Allah. Dan masih menurunya, bahwa substansi itu bersifat individual sekaligus menjadi hakikat segala sesuatu yang tampak individual.

 

Gottfried Wilhem von Leibniz ( 1646 – 1716 M )

Leibniz dalam menerangkan ide, dia menggunakan kata yang berbeda dengan apa yang ditelah diungkapkan oleh kedua filosof yang telah kita bahas sebelumnya. Pebedaan ini tidaklah mengurangi akan maksud yang mereka tuju, hanya saja penggunaan kata saja yang berbeda. Kita dapat melihat perbedaan itu sebagaimana berikut:

Descartes Ide ( ide sempurna )
Spinoza Substansi ( substansi yang tak terbaatas)
Leibnis Monad[4] ( supermonad )

Itulah perbedaan kata yang dipakai leibniz dalam menerangkan hal yang sama dan dibahas oleh filosof ang dua itu. Menurutnya, satu monad dengan monad yang lainnya itu berbeda, dan Tuhan dalam pandangannya sebagai supermonad ( super monad dan satu-satunya yang tidak dicipta ), Tuhan ( supermonad ) adalah pencipta monad-monad yang lain.

Oleh karena itu, dia menulis sebuah buku yang isinya hanya membahas tentang monad yang berjudul Monadology ( studi tentang monad ) yang ditulis pada tahun 1714 M. Monad adalah bagian terkecil, dan yang dimaksud dengan bagian yang terkecil ini bukanlah ukuran yang dimaksud melainkan dipahami sebagai tidak berkeluasaan, dengan kata lain monad bukanlah benda dan kenyataan jasmaniah, melainkan kenyataan mental yang terdiri dari persepsi dan hasrat. Leibniz membayangkan monad sebagai ‘force primitives’ yang berarti daya purba yang tidak material melainkan spiritual.

Dengan kata lain, monad yang dia maksud itu adalah kesadaran diri tertutup yang dia sejajarkan dengan cogito descartes.

Dalam perkataannya yang termasyhur, dia mengatakan ‘monad-monad tidak memiliki tempat sesuatu bisa keluar atau masuk’ sebab setiap monad memiliki sudut pandang dan setiap dari sudut pandang ini melukiskan kenyataan yang melingkunginya dan diantara monad-monad tidak ada interaksi, sebab masing-masing merupakan kenyataan yang sudah cukup diri.

Monad menurutnya tidak lain adalah sistem tertutup yang cukup diri. Setiap monad tak lain dari pada un mirror vivant de i’univers yang artinya ‘cermin hidup alam semesta’.

Penjelasan leibniz mengenai monad-monad ini menimbulkan permasalahan dan kebingungan. Lalu bagaimana saya bisa mengetahui kenyataan diluar diri saya? Dia menjawab permasalahan ini ‘setiap monad memiliki sifat-sifat yang jumlahnya tak terhingga, sebab setiap monad mencerminkan seluaruh alam semesta dan sudut pandangnya. Dengan kata lain bahwasanya kita bisa melihat alam semesta ini hanya dengan menggunakan monad dan memang dalam setiap mahluk yang ada didunia ini memilikinya, seperti monad manusia, hewan, tumbuhan dll.

Misalnya saja, ketika aku menyadari bahwa ada kertas yang jatuh didepan saya, kesadaran saya itu merupakan sebuah monad yang mencerminkan keadaan monad-monad bersama-sama mengidentifikasi bahwasanya kertas itu jatuh.

Seperti yang telah dijelaskan oleh leibniz, bahsawana monad-monad ini teriosalasi dengan yang lain dan tidak ada interkasi sama sekali. Lalu disini timbul permasalahan lagi, kalau dunia dan kesadaran adalah monad-monad yang terisolasi satu sama lain, lalu bagainmanaa saya bisa menjelaskan gejala adanya keteraturan dan hubungan timbal balik?

Leibniz menjelaskan bahwasanya memang benar antara satu monad dan monad yang lain itu terisolasi dan berbeda, akan tetapi kenapa terjadi gejala keteraturan dan hubungan timbal balik? Karena pada saat penciptaan Allah mengadakan ‘harmonie preetablie’ yang artinya keselarasan yang diciptakan sebelumnya. Jadi, meskipun setiap monad-monad memiliki momentumnya sendiri-sendir, mereka tetap cocok satu sama lainnya, sehingga menimbulkan ilusi bahwa mereka berinteraksi satu sama lainnya.

Misalnya seperti ini:

 

Menurutnya dalam peroses ini, panasnya itu bukan dikarenakan ada api, melainkan monad air, api dan panas bersesuaian satu sama lainnya. Jadi, hubungan timbal-balik diantara monad-monad hanya kelihatannya ada.

Lalu apakah Allah itu monad juga?

Dalam pemikiran leibniz, Allah juga monad, tapi tidak sembarang monad, melainkan Allah itu adalah monad purba (jerman: Urmonade) yang merupakan aktivitas murni.

Tidak hanya sebatas itu, ada permasalahan lain yang dijelaskan oleh leibniz mengenai monad itu. Apa bedanya kita dengan hewan jika segala monad mencerminkan alam semesta? Menurutnya, hewan, tumbuhan dan benda hanya mencerminkan alam semesta sedangkan manusia mencerminkan alam semesta dan Allah. Dengan ini dia ingin mengatakan bahwsanya kita sebagai monad manusia itu berbeda dengan hewan, karena monad manusia mencerminkan alam semesta dan Allah.

Pembuktian Allah dalam pandangan Leibniz

            Dalam hal ini, Leibniz mengungkapan 4 argumen tentang adanya Allah:

  1. Karena manusia memiliki ide sempurna dan tidak mungkin ada ide semournya jika tidak ada yang sempurna, dan ini menunjukkan adanya sesuatu yang sempurna (Allah). Bukti ini disebut dengan bukti ontologis.
  2. Adanya alam semesta dan ketidaksempurnaannya membuktikan adanya yang melebihi alam semesata ini, dan yang transenden ini disebut Allah.
  3. Kita sebagai manusia yang tidak pernah merasa puas selalu mencapai kebenaran yang abadi, dan kebenaran itu tidak bisa dihasilkan oleh manusia. Dan dengan keadaan ini menunjukkan adanya pikira yang abadi yakni Allah.
  4. Keselarasan antara monad-monad menunjukan bahwa pada awal mulanya ada yang mencocokkan mereka satu sama lainnya. Dan yang mencocokkannya itu tidak lain adalah Allah.

 

Empirisme

            Pengertian Empirisme

Empirisme berasal dari bahasa yunani yaitu “empeiria” yang berarti pengalaman dan mencoba.

Empirisme merupakan doktrin filsafat yang menekankan akan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peran akal. Bagi kaum empiris, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber dan terjamin kepastian dalam pengetahuan. Karena sumber pengetahuan adalah pengalaman, makan metode yang dipakainya adalah verifikasi induksi.

Tanpa pengalaman, rasio tidak memiliki kemampun untuk menggambarkan sesuatu apa pun. Kalau pun menggambarkan sedemikian rupa, itu hanyalah khayalan belaka. Dengan pengertian-pengertian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwasanya akal tidak mendapatkan peran dalam memperoleh pengetahuan melainkan akal hanya alat penyimpanan yang secara pasif menerima pengalaman, dan pengalaman-pengalaman itu bersifat inderawi.

Perbesaan empirisme dan rasionalisme di antaranya:

Empirisme Akal itu pasif dan dianggap sebagai penyimpanan data-data dari pengalaman-pengalaman Akal menjadi objek dan pengalaman menjadi subjek
Rasionalisme Akal itu aktif dan semua yang dapat diindera hanya perangsang bagi akal Akal menjadi subjek dan pengalaman/yang dapat diiderawi menjadi objek

 

 

John Locke ( 1632 – 1704 M )

Ketika manusia dilahirkan, dia tidak mengetahui apa pun juga seperti kertas putih yang belum tergores apa pun dan pengalaman merupakan goresan-goresan yang ada pada kertas itu. Demikianlah menurut Locke mengenai pengetahuan manusia. Inilah teorinya yang dinamakan teori tabula rasa.

Serta dia mengatakan bahwa semua pengetahuan manusia merupakan pengalaman-pengalaman yang tersimpan rapi pada akal. Akal, menurutnya merupakan tempat penyimpanan data-data secara pasif menerima hasil pengindraan.

Ada hal yang membuat pendapatnya ini bertahan dan diterima oleh sebagian orang, yakni dia berpendapat bahwa semua pengetahuan manusia itu dapat digali dari pengelaman yang telah dialami sebelumnya yang tersimpan didalam akal.

Jika terdapat pengalaman yang tidak dapat digali oleh daya ingatan akal, itu berarti merupakan kelemahan akal, sehingga hasil penginderaan tidak lagi dapat diaktualisasikan. Dengan demikian bukan lagi sebagai pengetahuan yang aktual. Misalnya, ketika ada gambaran mengenai angsa dalam benak kita, lalu kita tidak dapat menjelaskan dimana dan kapan serta semua yang berkaitan mengenai besaran, volume dan keluasan tentang angsa, maka menurut kaum empirisme, ini merupakan kelemahan daya ingat akal yang tidak dapat mengaktualisasikan pengetahuan yang telah di alami, dan juga dianggap bukan lagi ilmu pengetahuan yang aktual.

Mengenai tokoh-tokoh empirisme ini, masih banyak lagi tokoh-tokoh yang lainnya seperti David Hume, Herbert Spencer dan lain sebagai yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu dalam makalah ini

Positivisme

Perlu diketahui bahwasanya potivisme merupakan evolusi lanjut dari empirisme Inggris. Inspirasi filosofis empirisme terhadap posotivisme terutama terletak pada prinsip objektivitas ilmu pengetahuan. Seperti yang telah kita ketahui dalam pembahasan sebelumnya bahwa dalam empirisme yang menjadi objektivitas ilmu pengetahuan adalah indera. Inilah yang menginspirasi lahirnya positivisme.

Postivisme mengembangkan klaim empiris tentang pengetahuan secara ekstrim dengan mengatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu berdsarakan fakta-fakta keras ( terukur dan teramati ), ilmu-ilmu positif.

Kemunculan positivisme tidak bisa dilepaskan dari iklim kultural yang memungkinkan berkembangnya gerakan untuk menerapkan cara kerja ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Iklim kultural tersebut ditimbulkan oleh revolusi industri di Inggris pada abad ke- 18 yang menimbulkan gelombang optimisme akan kemajuan umat manusia berdasarkan keberhasilan teknologi industri.

Tokoh yang terkenal dalam filsafat positivisme ini diantaranya adalah peikir perancis, Henry Saint Simon ( 1760 – 1825 M ) dan muridnya yang bernama August Comte ( 1798 – 1857 M ). Walau Henrylah yang pertama kali menggunakan istilah positivisme, namun Comte yang mempopulerkan positivisme yang pada akhirnya berkembang menjadi filsafat ilmu yang begitu pervasif mendominasi wacana filsafat ilmu pada abad ke-20 M.

August Comte ( 1798 – 1857 M )

Menurut Comte bahwa pengetahuan positip-ilmiah adalah pengetahuan yang pasti, nyata dan berguna. Dia mendepak metafisika dengan keyakinannya bahwa segala sesuatu yang dapat manusia ketahui adalah semua yang dapat tertangkap oleh indera. Menurut Comte para filsafat metafisika belum mencapai tahap kedewasaanya yaitu pada filsafat positif.

Comte berpandangan bahwasanya pengetahuan manusia tiu ada tiga tahap yang akan kita bahas selanjutnya, yang dengan pandapat inilah Comte memperkuat tentang ilmu-ilmu positif yang dia yakini sebagai ilmu pengetahuan manusia yang sangat puncak. Mungkin ketiga tahap ini berdasarkan pengamatannya pada keadaan inderawi dari masa kecil sampai masa tua.

Tiga Tahap Pengetahuan Manusia Menurut Comte

  1. 1.      Pertama, tahap teologis.

Manusia memahami gejala-gejala alam sebagai hasil campur tangan langsung kekuatan Illahi. Tahap ini masih dapat dirinci menjadi tiga subtahap:

  1. animisme,
  2. politeisme, dan
  3. monoteisme.

Pada tahap animisme benda-benda dianggap berjiwa dan diperlakukan sebagai sesuatu yang suci atau dianggap keramat. Pada tahap politeisme manusia mempercayai dewa-dewa di balik berbagai gejala yang ada: seperti mempercayai adanya dewa angin, dewa api, dewalaut dan sebagainya. Dan pada tahap monoteisme manusia mulai meyakini adanya kekuatan tunggal-absolut di balik semua gejala tersebut.

 

  1. 2.      Kedua, tahap metafisis.

Pada tahap ini pelaku Illahi yang personal digantikan oleh prinsip-prinsip metafisika seperti kodrat.

 

  1. 3.      Ketiga, tahap positivis-ilmiah.

Pada tahap ini manusia berhenti mencari penyebab absolut baik yang Illahi maupun kodrati dan mulai berkonsentrasi pada obsevasi, pengukuran dan kalkukulasi guna memahami hukum yang mengatur jagad raya ini.

 

Tahap positivisme ilmiah diwarnai oleh keyakinan yang cukup besar pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan berakhirnya metafisikan dan lahirnya semangat positivi-ilmiah, Comte merasa bahwa manusia telah mencapai tingkat kedewasaan intelektualnya. Comte menganalogikan ketiga tahap tersebut seperti tiga tahap proses pendewasaan manusia.

No. Tahapan-tahapan Dianalogikan
1. Tahap teologi Masa kanak-kanak
2. Tahap metafisika Masa remaja
3. Tahap positiv-ilmiah Kedewasaan

 

Pragmatisme

Kata pragmatisme diambil dari kata yunani yakni ‘pragma’ yang mempunyai arti tindakan, perbuatan. Sedang dalam filsafat, pragmatisme dikenal sebagai paham aliran filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan manusia.

Pragmatisme berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah jika sesuatu memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan manusia. Kita ambil contoh agama, dalam hal ini kita telah ketahui bahwasanya agama itu merupakan pedoman yang kita perlukan untuk mengarungi kehidupan yang sedang kita jalani sekarang ini. Baik itu masuk akal atau pun tidak masuk akal.

Namun, perlu kita ketahui apabila bertemau dengan seoarang yang memiliki paham pragmatism, maka dia akan melihat terlebih dahulu pada agama, apakah agam itu baik untuk kehidupan atau tidan? Apakah agama itu bermanfaat bagi manusia atau tidak ada menfaatnya sama sekali. Jelaslah bagi kita, bahwasanya pragmatisme itu melihat sessutu itu dari manfaatnya saja, jika agama tidak memiliki manfaat bagi kehidupan manusia, tentu agama bagi kaum pragmatisme tidak dapat diterima, karena agama tidak mempunyai manfaat.

Sebaliknya, jika agama itu mempunyai manfaat bagi mansuia, misalanya memberikan ketenangan dan kebahagiaan, tentu agama dalam pandangan pragmatisme dapat diterima karena memberi manfaat bagi kehidupan manusia.

Tokoh Pragmatisme, William James ( 1842 – 1910 M )

William James menyatakan bahwasanya tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal. Sebab, pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena didalam praktik, apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.

Menurut James, dunia tidak dapat diterangkan dengan berpangkal pada satu asas saja. Dunia adalah dunia yang terdiri dari banyak hal yang bertentangan. Tentang kepercayaan agama dikatakan, bagi orang-perorangan, kepercayaan adanya suatu realitas cosmis lebih tinggi itu merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu memberi kepada kita suatu kebahagiaan atau ketenangan dan sebagainya. Segala macam pengalaman keagamaan mempunyai nilai yang sama, jika akibatnya sama-sama memberikan kepuasan kepada kebutuhan keagamaan.

Berdasarkan pada apa yang dipaparkan James, kita dapat melihat bahwasanya segala sesuatu itu tergantung pada akibat yang ditimbulkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Jika misalnya kita beragama, sedang agama itu memberi mamfaat bagi kehidupan kita, maka agama itu dapat kita terima.

Dan apabila kita melihat paham pragmatisme ini, kita dapat menyimpulkan juga bahwasanya kebenaran itu relatif, karena kebenaran bergantung pada akibat yang ditimbulkannya dan akibat ini bergantung pada pengalaman, sedangkan pengalaman itu sendiri senantiasa berubah dari hari ke hari. Jadi, menurut paham pragmatisme tidak ada kebenaran yang mutlak dalam kehidupan kita.

 

Kritisme Kant

Riwayat Hidup Immanuel Kant

Filsuf ini hidup pada saat Pencerahan sedang mekarnya di Jerman. Filsuf Jerman ini sepanjang hidupnya tinggal dengan bersahaja dikota Konigsberg di Prusia Timur. Di kota ini pula dia dilahirkan dalam sebuah keluarga yang sangat dipengaruhi oleh pietisme. Kant diasuh dengan nilai-nilai kerajinan, kejujuran, dan kesalehan yang ketat. Di usia tuanya Kant teringat penuh rasa terima kasih kepada ibunya yang mendidiknya untuk jujur dan menghindari segala bentuk dusta. Suasana pengasuhan pietistic ini besar pengaruhnya dalam pemikiran Kant yang sangat menjunjung tinggi kewajiban. Setelah menamatkan Studi di Universitas kota Konigsberg, dia  bekerja  sebagai dosen dan bekerja sebagai Privatdozent untuk beberapa keluarga kaya. Masa privatdozent ini berlangsung dari tahun 1755-1770 dan dikenal sebagai “periode pra-kritisnya yang sangat dipengaruhi oleh Leibniz dan Wolf.

Ditahun 1770 Kant dikukuhkan sebagai professor. Dapat diperkirakan disekitar tahun 60-an sampai 70-an ini dia mulai meninggalkan system filsafat Wolf dan Leibniz dan dia sendiri mengatakan bahwa Hume telah membangunkannya dari “tidur dogmatisnya. Jadi, sampai taun 70-an dia dipengaruhi skeptisme Hume. Pada tanggal 12 februari 1804, Kant meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun. Makamnya sekarang tidak berisi tulang-tulang karena dicuri orang, rusak karena perang, sedangkan yang tersisa di Konigsberg tinggal sebuah nisan perunggu.

 

Proyek Filosofis Kant

Kalau kita memusatkan perhatikan pada pemikiran Kant pada perode kritis, kita dapat menemukan bahwa proyek pemikirannya ditujukan untuk menjwab tiga pertanyaan dasariah, yakni: 1. Apa yang dapat saya ketahui? 2. Apa yang seharusnya yang saya lakukan?, dan 3. Apa yang saya bisa harapkan? Pertanyan pertama dijawab dalam “kritik der reinen Vernunft”, yang kedua dalam “kritik der praktischen Vernunft”, dan yang ketiga dalam “kritik der Urteilkraft”. Dengan karya-karya tersebut, Kant terutama bermaksud ‘memeriksa kesahihan pengetahuan’ secara kritis, tidak dengan pengujian empiris, melainkan dengan asas-asas a priori dalam diri subjek.

Filsafat Kant disebut ‘kritisme’ kerena istilah ini dipertentangkannya dengan ‘dogmatisme’, sementara dogmatism merupakan filsafat yang menerima begitu saja kemampuan rasio tanpa menguji batas-batasanya, kritisme dipahami sebagai sebuah filsafat yang dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum memulai penyelidikannya. Dengan kata lain, Kant mengatakan bahwa kritisme adalah filsafatbyang lebih dahulu menyelidiki die bedingung der moglichkeit (syarat-syarat kemungkinan) pengetahuan kita.

 

Duduk Perkara Kritik Kant

Dalam kritik der reinen Vernunft, Kant mempersoalkan: Apakah metafisika itu mungkin atau tidak untuk memperluas pengetahuan kita tentang kenyataan? Apakah metafisika sungguh bisa memberi pengetahuan yang pasti mengenai Allah, kebebasan, dan keabadian? Pernyataan ini jelas merupakan sebuah kesangsian atas kebenaran metafisika yang pernah menjadi ‘ratu ilmu-ilmu’. Yang dipersoalkan Kant dalam metafisika adalah upayanya untuk menghasilkan ‘pengetahuan a priori’ atau ‘pengetahuan murni’. Yang dimaksudkan adalah konsep-konsep sepnya yang tidak diturunkan dari pengalaman, melainkan berasal dari struktur-struktur pengetahuan subjek sendiri, kosong, dari pengalaman empiris.

Dalam Estetika Transendental (pengetahuan dalam taraf indra) menurutnya, ada dua unsure dalam penampakan objek, yaitu unsure materi (materia) dan unsur bentuk (forma). Unsur materi adalah sesuatu yang berhubungan dengan (isi) pengindraan itu, sedangkan forma adalah sesuatu yang memngkinkan berbagai penampakan itu tersusun dalam hubungan-hubungan tertentu. Kant mengatakan ada dua forma murni pengindraan, yakni: ruang (Raum) dan waktu (Zeit). Yang kita tangkap sebagai penampakan itu sudah merupakan sintesis antara efek objek pada subjek dan unsur a priori, yakni forma ruang dan waktu yang sudah ada pada subjek. Dengan mengatakan bahwa ruang dan waktu bersifat a priori, Kant tidak memaksudkan bahwa keduanya tidak real. Menurut Kant, memang “das Ding an sich” tidak kita ketahui, tetapi kenyataan empiris selalu sudah merupakan sintesis antara unsure a priori dan a posteriori. Kant mengatakan bahwa ruang dan waktu itu secara empiris real, tetapi secara transendentl ideal. Secara empiris Karena ruang dan waktu bukan ilusi, melainka sesuatu yang nyata secara indrawi. Secara transcendental ideal, karena ruang dan waktu hanya bisa diterapkan pada penampakan.

Dalam Analitika Transendental (pengetahuan pada taraf intelek), Kant menjelaskan bagaimana data-indrawi itu menjadi pengetahuan. Menurut Kant didalam diri subjek terdapat dua kemampuan, yakni untu menerima data-indrawi dan untuk membentuk konsep. Tanpa sensibilitas objek tidak dapat masuk dalam subjek, dan tanpa akal objek tidak dapat dipikirkan. Menurut Kant berpikir adalah membuat keputusan. Dalam putusan, terjadi dua sintesis antara data-indrawi dan unsure-unsur a priori akal budi. Tanpa sintesis itu, kita bisa mengindrai penampakan, tapi tidak mengetahuinya. Dengan kata lain, kategori-kategori itu merupakan syarat a priori pengetahuan kita. Dan objek itu harus menyesuaikan diri dengan kategori-kategori itu, dan objek itu tampak hanya dengan kategori subjek, jadi tidak ada cara lain kecuali mengetahuinya dengan struktur kategori akal budi itu.

Jenis Putusan Kategori
  1. Kuantitas
  2. Kuantitas
  3. Putusan Universal
Kesatuan/Unitas
  1. Putusan Partikular
Kemajemukan/Pluralitas
  1. Putusan Singular
Keseluruhan/Totalitas
  1. Kualitas
B.
  1. Putusan Afirmatif
Realitas
  1. Putusan Negatif
Negasi
  1. Putusan Ketakberhinggaan
Limitasi
  1. Relasi
 
  1. Putusan Kategoris dan Aksidensi
Substansi
  1. Putusan Hipotetis
Kausalitas
  1. Putusan Disjunktif
Komunitas
  1. Modalitas
 
  1. Putusan problematic
Kemungkinan-Kemustahilan
  1. Putusan penegasan
Eksistensi-Non-eksistensi
  1. Putusan Apodiktis
Keniscayaan-Kontigensi

 

Dalam Dialektiaka Transendental (pengetahuan pada taraf Rasio), Kant menyebutkan adanya tiga tipe kesimpulan sosiologis yang mungin, yaitu: kesimpulan kategoris, hipotetis dan disjunktif. Ketiganya berkaitan dengan tiga kategori akal-budi, yaitu: substansi, kausalitas, dan komunitas atau resiprositas.

Epistemologi Emmanuel Kant

Kant mengemukakan bahwa ia dipengaruhi oleh Hume dan menyatakan bahwa ia “dibangunkan dari tidur dogmatis” olehnya. Meskipun ia dipengaruhi oleh Hume akan tetapi ia tidak menerima skeptisisme Hume, dengan menyatakan bahwa kita dapat memperoleh pengetahuan yang pasti sperti yang dikemukakan kaum rasionalis. Kant menyatukan gagasan kaum empirisme dan rasionalisme. Dengan demikian, ia mengemukakan gagasan baru mengenai pengetahuan. Ia mengemukakan bahwa mengetahui bukan berarti bahwa kita menangkap atau memahami objek, akan tetapi jusrtu pengetahuan (pengalaman) itu merupakan konstruksi atau hasil kerja subjek. Subjek (kesadaran) merupakan yang disebutnya “transcendental unity of apperception”. Maksudnya adalah kesadaran harus dilihat sebagai satu paket yang terdiri dari: pengalaman (empiris, kuantitatif) dengan kualitatif, subjektif.

Kritik terhadap Kant

Pengaruh epistemologi Kant sesudahnya sangatlah luar biasa, misalnya pada: positivism dan positivism logis yang mengambil fenomena sebagai sumber pengetahuan. Sedangkan pengaruh lain adalah, pemikir yang disebut Kantianisme (tokoh hermeneutika), serta pada kontruktivisme, terhadap pemikirannya. Kritisisme Kant sebenarnya bertolak dari asumsinya bahwa akal budi dan kemampuannya dapat diandalkan.

Jadi ia terlebih dahulu mempercayai kemampuan akal budi yang akan dikritisinya dari pada pengalaman. Gagasan Kant bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari fenomena, tampaknya kontradiktif dengan konsep noumena-nya (Das Ding an sich). Masalahnya bagaimana dan darimana ia mengemukakan noumena yang berada diluar jangkauan indar itu (metafisik) itu ia ketahui, jika pengetahuan hanya bersumber dari pengalaman.

Hegel mencoba mengatasi dilemma ini melalui metode fenomenologinya. Konsep Kant tentang pengetahuan sebagai mana sintesis a priori gagal menghindari skeptisime Hume terhadap diri (self) dan nilai-nilai. Konsep Kant tentang tiga idea (metafisika) yang menurutnya tidak dapat diketahui, akan tetapi menjadi prasyarat untuk mengetahui sesuatu, lalu bagaimana yang tidak real itu menjadi jaminan bagi pengetahuan indrawi? Hegel mencoba mengatasi skeptisime dan kegagalan Kant dengan meloncat pada pencarian keseluruhan dan integrasi melalui dialektika. Realitas menurutnya adalah keseluruhan bukan fragmen-pragmen atau bagian-bagian yang terobservasi. Jika kita mencari kebenaran dengan memotong-motongnya, demikian kata Hegel, maka kita sesungguhnya telah membunuhnya bukan menemukannya.

Secara keseluruhan, kita dapat menyimpulkan bahwa pikiran Kant sangat dipengaruhi oleh fakta kesatuan dalam pandangan ilmiah. Oleh karena itu, Richard Rorty, filsuf neopragmatisme Amerika, menyebut Kant sebagai seorang tokoh fundasionalisme dalam epistemology modern yang dikritiknya beserta pemikir postmodern lainnya.

Burhani

Akal memilik kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan indera-indera  yang lain. Dengan kelebihan-kelebihan yang dimilik akal dibandingkan indera ini, maka ilmuan-ilmuan Muslim telah menjadikan akal sebagai alat pengetahuan yang sah, sebagaimana sahnya indera (bahkan lebih dari itu); dan sering, karena itu, akal disebut sebagai sumber ilmu. Disamping sumber-sumber lainnya, seperti indera dan wahyu.

Meskipun begitu, perlu disadari bahwa kelebihan-kelebihan yang dimilki oleh akan sebagai alat untuk mengetahui objek-objek non-fisik, ternyata tidak bisa menjadi sekaligus jaminan bahwa persepsi akal selalu benar atau akurat. Dibutuhkan syarat-syarat, kaidah-kaidah serta prosedur-prosedur ilmiah tertentu untuyk memastikan bahwa persepsinya itu akurat. Dari sini munculah metode berfikir benar, yang disebut logika (mantiqi). Ilmuan dan para filosof Muslim, bahkan sampai taraf tertentu para fuqoha’, berhutang budi kepada bapak logika dari Yunani, Aristoteles, yang  telah dengan sangat sistematis menyusun ilmu/metode berfikir. Dari penelitian yang dilakukan Aristoteles dan para pengikutnya maka ditemukanlah beberapa metode logika dilihat dari tingkat sofistik, retorik, dialektik dan terakhir demonstratif. Namun yang terakhirlah yang dipandang oleh para filosof sebagi metode logika yang paling dapat dipercaya, dan metode inilah yang kita sebut  burhani (demonstratif).

Metode burhani sangat diperlukan karena sebagaimana perspsi inderawi tidak selalu akurat terhadap benda yang ditelitinya, maka demikian juga akal manusia tidak selalu tepat atau akurat tentang objek-objek yang dipersepsinya, lebih-lebih onjek-objek tersebut bersifat non-inderwai. Dari sini kitab kemudian menyadari betapa penting untuk menguasai, memahami dan kemudian menerapkan metode berfikir yang benar, yuang kesemuanya bisa dipenuhi oleh metode  burhani, yang sedang kita bahas.

Apakah itu metode burhani? Metode burhani adalah metode logika yang digunakan untuk menarik kesimpulan dari premis-premis yang  telah diketahui, sehingga menghasilkan kesimpulan, pengetahuan atau informasi baru, yang sebelumnya tidak atau belum diketahui. Adapun prosedur yan g harus diikuti dalam penarikan kesimpulan tersebut, adalah apa yang disebut sebagai silogisme, yang harus memiliki beberapa bagian pokok, yaitu premis (mayor dan minor) middle term dan kesimpulan[5]. Mekanismenya adalah sebagai berikut: premis mayor + premis minor + middle term + kesimpulan.

 

Contohnya:

Semua makhluk yang bernyawa akan mati

Kucing makhluk yang bernyawa

Maka kucing akan mati

Baris pertama disebut premis mayor, yang kedua disebut premis minor, dan baris ketiga disebut kesimpulan. Adapun middle term (al-had al-awsath) yang harus dimiliki bersama oleh premis mayor dan premis minor adalah “makhluk yang bernyawa”.

Menurut keyakinan para filosof kesimpulan tersebut niscaya benar, dan kerena berkorespondensi dengan kenyataan, dengan syarat bahwa premis mayor dan minornya merupakan proposisi yang kebenarannya tidak diragukan.

Irfani

Dalam tradisi ilmiah  Islam, selain indera dan akal, masih ada lagi satu alat pengetahuan yang diakui oleh ilmuan Muslim yaitu yang disebut hati (qolb) atau dalam bahasa filsafat disebut intuisi. Dalam metode intuisi (hati) ini yang penting adalah melakukan persiapan (isti’dad) untuk menyongsong pencerahan (iluminasi) – atau ada juga yang menyebutnya mukasyafah. Caranya adalah dengan membersihkan dirinya dari segala kotoran jiwa, atau disebut tazkiyat al-anfus (pensucian diri). Karena pengenalan intuitif dapat diibaratkan turunnya sinar kebenaran ke dalam hati seorang hamba yang bersih, sehingga kebenaran itu hadir di dalam dirinya.

Inilah, yaitu hadirnya kebenaran di dalam hati, yang membedakan pengenalan intuisi (hati) dari pengenalan akal atau indera, sehingga ilmu intuitif disebut ilmu hudhuri (knowledge by presente) di mana objek pengetahuan dicapai tanpa melalui perantaraan apapun, bauk itu berupa symbol, konsep maupun representasi. Dan ini berbeda dengan modus pengenalan lain, yang disebut ‘ilmu husuli atau pengetahuan melaui pencapaian (acquired knowledge) di mana pengenalan bisa berkorespondensi secara positif atau negative, dan  karena itu bisa benar dan salah.

Irfan adalah salah satu ilmu yang lahir dan tumbuh sedemikian canggih dalam pangkuan kebudayaan Islam. Ilmu ini bisa ditelaah dari dua sudut pandang, takni sosiologis dan ilmiah. Kaum ‘arif bebeda dengan sarjana ilmu-ilmu lainnya, yang hanya membentuk kelompok ilmiah dan tidak dipandang sebagai kelompok social yang terpisah. Berdasarkan dari dua sudut pandang yang bebeda ini, kaum ‘arif memiliki dua sebutan yang berbeda. Jika mereka dipandang sebagai orang-orang yang mahir dan pandai dalam ilmu tertentu (yakni irfan), maka disebut kaum ‘arif. Dan jika mereka dipandang sebagai suatu kelompok social tertentu, maka mereka disebut kaum sufi (mutashawwifah).

Kaum ‘arif dansufi dianggap telah memisahkan diri dari dunia islam. Mereka tersebar luas dalam kelompok mazhab islam. Bahkan diberbagai kelompok itu mereka pun berhimpun kembali sehingga membentuk kelompok social yang baru. Salah satu penyebab terpisahnya mereka dari masyarakat adalah berbagai gagasn dan pandangan khasnya, gaya hidup yang mengatur pergaulan mereka, cara berpakaian, berambut dan bahkan cara berjenggot mereka, dan juga cara hidup mereka secara komunal dipondok-pondok sufi.

Sebagai sebuah ilmu, irfan memiliki dua aspek. Yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktis irfan adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya, dunianya, dan Tuhannya. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupi etika. Sedangkan irfan teoritis mempokuskan perhatiannya pada masalah wujud (onologi), mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam semesta. Dengan sendirinya, bagian irfan ini menyerupai teosofi (falsafah illahi) yang juga memberi penjelasan tentang wujud.

Bagian praktis ‘irfan juga disebut sayr wa suluk (perjalanan ruhani). Bagian ini menjelaskan bagaimana seseorang menempuh-ruhani (salik) yang ingin mencapai tujuan uncak kemanusiaan yakni tauhid. Bagi seorang ‘arif, tauhid berarti satu-satunya wujud hakiki hanyalah Allah SWT, dan selain segala sesuatu selain Allah SWT hanyalah penampakan belaka, bukan wujud itu sendiri. Tauhid menurut seorang ‘arif berarti segala sesuatu selain Allah SWT sebenarnya tidak ada. Baginya, tauhid berarti menempuh jalan ruhani dan mencapai suatu tahapan dimana ia tidak lagi melihat sesuatu yang lain kecuali Allah SWT. Kaum ‘arif menyakini bahwa pencapaian tahapan seperti inilah yang benar-benar merupakan tauhid hakiki, dan bahwa semua tahapan selain itu berarti kemusyrikan.            

Asal –Usul ‘Irfan dalam Islam

Untuk memperoleh pengetahuan tentang ilmu apapun, penting sekiranya mengetahui sejarah perkembangannya dari masa ke masa.

Pertanyaan pertama disini adalah apakah ilmu ‘irfan ini dari islam atau dari luar islam. Beberapa orientalis bersikeras mengatakan bahwa gagasan-gagasan luhur ‘irfan dan tasawauf masuk kedunia Muslim dari luar. Kadang-kadang mereka menyatakan bahwa asal-usul gagasan-gagasan irfan adalah Kristen, dan gagasan-gagasan tersebut masuk ke dunia Islam sebagai akaibat dari kontak awal antara kaum Muslim dan pendeta-pendeta Kristen. Terkadang mereka menggambarkan ‘irfan dan tasawuf sebagai reaksi orang-orang Iran atas orang-orang Arab dan Islam. Kadang-kadang pula, mereka menyebut tasawuf sebagai produk dari filsafat neo-Platonis yang dibawah pengaruh filsafat Alexsandria yang merupakan gabungan dari pandangan-pandangan Aristoteles, Plato, Pythagoras disatu sisi dan ajaran-ajaran Yahudi-Kristen disisi lain. Terkadang para orientalis ini menandaskan bahwa tasawuf Islam memperoleh inspirasinya dari gagasan-gagasan Budha. Sama halnya dengan orientalis, musuh-musuh ‘irfan didunia Islam pun terus menerus berupaya membuktikan bahwa asal-usul ‘irfan bukanlah Islam dan sama sekali asing bagi Islam. Kaum ‘arif menolak bahwa ‘irfan dari luar Islam. Dan mereka juga menolak kemungkinan-kemungkinan lainnya. Akan tetapi, pembentukan prinsip-prinsip dan aturan mainnya irfan juga dipengaruhi oleh sumber-sumber dari luar, khususnya teologi skolastik, filsafat, dan iluminasionisme.

 

SEJARAH SINGKAT ‘IRFAN

Sebelumnya kita sudah berbicara tentang posisi sumber ‘irfan. Kini kita akan meneruskan pembahasan ini.

Ajaran murni Islam dan kehidupan para pemimpin spiritualnya yang begitu kaya dengan gagasan dan manifestasi “pengalaman” spiritual, yang telah menjadi sumber inspirasi bagi munculnya ‘irfan di dunia Islam, tidaklah bisa dicakup  dengan istilah ‘irfan dan taswauf saja.

Satu hal yang sudah tampak pasti adalah bahwa pada kurun awal Islam, sekurang-sekurangnya selama abad pertama hijrah atau tuju masehi, dikalangan kaum Muslim belum ada kelompok yang dikenal sebagai kaum ‘arif atau kaum Sufi. Kata shufi baru muncul pada abad kedua Hijrah. Konon, Abu Hasyim dari Kufah adalah orang yang pertama yang digelari dengan nama ini. Dia hidup pada abad kedua Hijrah dan dialah orang pertama kali membangun pondok Sufi (khanaqah) di Ramallah, Palestina, yang khusus digunakan oleh sekelompok orang-orang zuhud (zahid). Tidak diketahui kapan Abu Hasyim meninggal. Hanya saja, kita mengetahui  arif dan sufi terkenal, Abu Al-Qusyairy, mengatakan bahwa shufi belum ada sebelum tahun 200 H. Nicholas berpandangan bahwa kata ini mulai digunakan menjelang akhir abad kedua Hijrah. Sebuah riwayat dalam kitab Al-Kafi, jilid 5, mengisyaratkan bahwa selama zaman Imam Ja’far Ash-Shadiq, yakni selama separuh waktu pertama abad kedua Hijrah, ada beberapa orang yang dikenal sebagai Sufi.

Tidak bisa dipastikan sejak kapan orang-orang ini digelari ‘arif. Tapi yang sudah pasti, sebagaimana ditegaskan oleh pernyataan-pernyataan yang dikutip Sari As-Saqati (w.234 H), adalah bahwa istilah ini dipakai pada abad ketiga Hijrah. Namun demikian, dalam kitab Al-Luma’ karya Abu Nashr Sarraj Ath-Thusi, sebuah buku otentik tentang ‘irfan dan tasawuf, ada sebuah kalimat yang dikutip Sufyan Al-Tsauri yang menunjukkan bahwa istilah ini terkadang muncul pada abad kedua Hijrah.

Berapapun selama abad pertama Hijrah tidak ada kelompok yang dikenal dengan kaum Sufi. Nama sufi sudah muncul pada abad kedua Hijrah, dan tampaknya, pada abad ini pula mereka muncul sebagai kelompok social tertentu, bukannya pada abad ketiga Hijrah sebagaimana dipercaya banyak orang.

Metode ilmu intuitif  inilah yang kemudian biasa dikenal sebagai metode ‘irfani, yang biasa digunakan oleh para sufi atau teosofer Muslim (Muta’allih), seperti Suhrawardi dan Mulla Shadra. Dan seperti metode tajribi dan burhani, metode ‘irfani juga dianggap sebagai metode ilmiah yang sah dan menjadi warisan abadi tradisi ilmiah Islam.[6]

 

 

 

 

 

 


[1]Kamus Filsafat, 2002, hlm. 925.

[2]Alat berfikirnya adalah kaidah-kaidah logika

[3]Pemikiran, Allah dan keluasan (alam materi)

[4]Monos artinya satu dan monad artinya satu unit

[5] Kartanegara, Mulyadi. 2006. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta. Baitul ihsan. hlm. 187

[6]Kartanegara, Mulyadhi. 2006. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta. Baitul ihsan. hlm .191

Tentang Rhaflizh

Armawan Ar-Rhaflizh lahir di Bengkulu
Pos ini dipublikasikan di Filsafat. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar